Mohon tunggu...
Baiq Dwi Suci Angraini
Baiq Dwi Suci Angraini Mohon Tunggu... Penulis - Menulislah Untuk Mengubah Arah

Pegiat dan penikmat karya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kapitalis Gagal Uji Coba di Masa Pandemi, Islam Tawarkan Solusi

18 Agustus 2020   07:00 Diperbarui: 18 Agustus 2020   07:03 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis : Baiq Dwi Suci Anggraini, S.Psi

Diterbitkan : CendekiaPos

Pandemi global Covid-19 sudah sangat banyak menyita perhatian kita. Energi dan pikiran semakin terkuras untuk menggali berbagai informasi pencegahan, hampir semua orang pun kewalahan mengendalikan berita yang seliweran keluar masuk.

Akses internet mulai padat oleh pencari informasi, nyaris sepanjang waktu kita jadi semangat mengikuti jumlah kasus yang membengkak dari hari ke hari. Terakhir, presentase kematian akibat wabah yang diakibatkan oleh Covid-19 ini telah melampau angka yang fantastis.

Indonesia mulai kewalahan, Amerika sebagai pamongnya sistem kesehatan hancur lebur, Cina dan Negara lain pun babak belur. Rilis data terbaru oleh sistem statistik internasional wordometers melampirkan, Amerika masih menjadi episenter pandemi hingga 19 April 2020, dengan angka kasus terindikasi positif Covid-19 sebanyak 728.293 orang dinyatakan telah terpapar wabah. 

Penularan yang sangat cepat dari manusia ke manusia menciptakan gelombang ketakutan dan kepanikan yang dahsyat. Hal ini menyebabkan WHO sebagai lembaga kesehatan dunia mengeluarkan himbauan kepada masyarakat agar selalu melakukan social distancing, physical distancing, dan menghindari berbagai bentuk kerumunan orang.

Berharap masyarakat patuh pada instruksi para pemimpin, sebaliknya justru masih banyak yang melanggar aturan untuk menjaga jarak aman dengan orang di sekitarnya. Keramaian di jalan raya, pasar tradisional, hingga supermarket masih mudah ditemukan. Bahkan di saat rumah ibadah dipaksa ditutup, pusat perbelanjaan besar lainnya masih dibiarkan dibuka. Padahal resiko terjadinya penularan virus di Mall-Mall pun beresiko tinggi akibat interaksi antar orang yang tidak memperhatikan keselamatannya.

Himbauan pemerintah terkesan disepelekan dan dianggap remeh oleh sebagian orang. Tetapi bukan berarti masyarakat tidak mengalami kecemasan akut oleh penyebaran wabah, melainkan mereka jauh lebih takut dengan berbagai pikiran yang berkecamuk.

 Krisis ekonomi kali ini benar-benar membawa dampak dilematis, terutama para buruh dan pekerja harian yang terpaksa harus keluar rumah untuk memastikan di situasi ini mereka tetap bisa makan. Dalam kondisi krisis dan dilematis ini, pemerintah malah abai dan tetap memerintahkan semua orang untuk diam di rumah.

Keadaan serba sulit ini belum bisa diterima oleh masyarakat, kita juga perlu beradaptasi lebih banyak untuk segera menyesuaikan diri dengan situasi sekarang. Menyiasati masa-masa yang penuh guncangan, seharusnya pemerintah mengambil langkah cepat dan tanggap. Alih-alih menjalankan solusi, kabinet kerja malah terlihat sangat santuy menghadapi pandemi. Gerak pemerintah yang terlalu lambat membuat semua kalangan gereget, muncul aksi protes dan kritik di mana-mana, rakyat mulai susah dan kebingungan, dan para pemimpinnya justru masih melakukan ujicoba solusi.

Hari ini ujicoba penutupan bandara tapi pelabuhan tetap bisa diakses, besok ujicoba kartu prakerja tetapi ujungnya tidak semua kebagian rata. Dana bantuan langsung tunai kepada fakir miskin pun dipilah pilih, tidak dibagikan secara luas. Akibatnya, kapitalis telah gagal mengujicoba solusi demi solusi menghadapi wabah. Kegagalan tersebut akan menghantarkan ideologi batil ini pada kehancuran yang nyata.

Sedangkan syariat Islam dengan tegas memerintahkan langkah-langkah kongkrit ketika menghadapi wabah penyakit menular. Napak tilas umat islam menghadapai wabah di masa Rasulullah hingga para Khalifah, sangat akurat untuk dijadikan rujukan solusi oleh dunia hari ini. Islam menginstruksikan untuk menutup semua akses keluar dan masuk wilayah yang terjangkit wabah, memisahkan pasien dari orang sehat, mengkarantina semua yang sakit, membiarkan yang masih sehat beraktivitas seperti biasa. Upaya Negara dalam tatanan pemerintahan islam pun berkelas, semisal Khalifah Umar menjamin kebutuhan pangan warganya selama masa-masa terjadinya wabah saat itu di Syam.

Islam sebagai sebuah ideologi yang memiliki seperangkat aturan dan pemecahan masalah, sudah tak lagi diragukan kapabilitasnya dalam menyelesaikan problematika sedarurat apapun. Sebaliknya ideologi sekuler kapitalis, tampak sangat tidak berpengalaman menangani kasus pandemi sekalipun, dikarenakan solusi hanya dijadikan ajang trial and error kepada rakyat. Hasilnya, ketika Negara islam di masa itu mampu bangkit dari berbagai jenis wabah yang menjangkit, Negara kapitalis di seluruh dunia justru tidak sanggup keluar dari masalah barunya.

Maka jelas jauh berbeda respon dan solusi yang dimiliki islam dibandingkan ideologi lain. Rasulullah bahkan menyampaikan, "Apabila kalian mendengar terjadi wabah di suatu wilayah, maka janganlah memasukinya. Dan apabila wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, maka janganlah keluar darinya." (HR. Bukhari Muslim)

Perintah tersebut tidak bertele-tele, dan ketundukan masyarakat yang hidup di bawah pemerintahan islam pun sangat baik. Mereka diikat dan disatukan oleh pemikiran, perasaan, dan aturan yang berasal dari Allah dan RasulNya. Negara pun memberikan jaminan kesejahteraan untuk bertahan hidup, sehingga tidak akan ada rakyat yang ngeyel melaksanakan perintah pemimpinnya. Sudah jelas, islam terbukti berhasil keluar dari situasi semacam ini dengan sangat cepat, tidak butuh waktu lama.

Rasulullah sigap menutup semua jalur keluar masuk dari dan ke Syirawaih yang terletak di Madain, Persia. Sebagai seorang pemimpin Negara, Rasulullah bertindak dengan sistematis dan terukur untuk memastikan keselamatan semua orang. Wilayah yang terjangkit wabah lepra saat itu langsung lockdown, penyelesaian masalah tidak berlarut-larut. Hanya dalam waktu beberapa minggu, wabah pun berakhir.

Amr bin Ash sebagai penasehat Umar bin Khattab, saat itu menganjurkan agar masyarakat berpencar dan menghindari kerumunan, agar penularan wabah segera berhenti. Di tengah upaya menghentikan penyebaran wabah, Khalifah Umar mengorbankan jatah makanannya untuk disebarkan ke penduduk yang terjangkit wabah (tho'un) amwas. 

Tidak ada yang sibuk saling menyalahkan dan bersinggungan pendapat soal keilmuan, pemikiran, apalagi solusi. Semua sepakat, wilayah Syam saat itu harus di-lockdown; mereka ridho satu sama lain; ikhlas untuk berdiam diri dan melakukan isolasi di bukit-bukit dan lembah bagi yang sakit; tidak ada keterpaksaan.

Islam sudah tuntas menjabarkan solusi kongkrit, tersisa tantangan bagi pemimpin kapitalis sekarang. Ingatlah, kesehatan masyarakat tidak bisa dijadikan mainan yang diujicoba dengan kebijakan-kebijakan ngawur, karna nyawa satu orang bahkan sangat dihargai dalam islam. Lantas, bagaimana dengan nyawa manusia yang masih terus diujicobakan di sistem kapitalis? Wallaahu'alam bisshawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun