Mohon tunggu...
Baiq Dwi Suci Angraini
Baiq Dwi Suci Angraini Mohon Tunggu... Penulis - Menulislah Untuk Mengubah Arah

Pegiat dan penikmat karya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sastra Kok SARA?

10 Agustus 2020   06:48 Diperbarui: 10 Agustus 2020   07:05 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

A Short Story, Baiq Dwi Suci

Buya Hamka mengulang-ulang kalimatnya di hape Nisa, "Jika diam ketika agamamu dihina, gantilah pakaianmu dengan kain kafan."
Melepas pakaian dunia ini saja ia masih enggan, sebab baginya memperjuangkan agama Allah masih membutuhkan nyawa. Seketika ia teringat pesan seorang sastrawan tua penghafal kalam Tuhan,

"Penulis harus melek fakta, harus mampu menolong agama ini, bahkan jika diperlukan penulis harus turun ke jalan demi menegakkan kebenaran," Petuah heroik itu menyelamatkannya dari kemalasan. Ia kemudian bangun dan bangkit menarik layar 14 inci yang sudah apek berdebu.

Pesan sang maestro terus mengerubungi pikiran Nisa, "Menulislah dari hati." Nisa tak tau hendak menuliskan apa, sebab hatinya telah remuk menyaksikan perdebatan dunia hari ini. Jiwanya berontak, ia sebetulnya marah mengapa dunia sastra diperlakukan sehina itu di hadapan Ibu Indonesia. 

Sayang, kemarahannya tak bertuan. Sampai habis kekesalan di kepala, ia tak juga mulai menarikan jemari di ujung pena. Sampai detik terakhir di pertengahan ashar, barulah ia munculkan sekelebatan angin membawa pesan andalan yang seringkali muncul saat kemalasan menghantui.

Pesan sederhana beberapa tahun lalu itu membuat nyalinya bangkit. Setiap hendak hengkang dari literasi, pesanan itulah yang selalu ia tarik keluar dari alam bawah sadar. Nisa menghadirkan sosok Almarhum yang telah lama tiada menghadap pemakaman, direkam ulang pribadi tegap dan inspiratif yang berharap banyak padanya. Guru sekaligus Kakak yang paling sastrawan melebihi seluruh penyair abad ini, begitu penilaiannya.

"Menulislah, atau kau akan mati!" Benar, kaum muslimin memang wajib menulis sebagai bentuk pembelaannya terhadap ajaran islam yang dinista. Berkaryalah untuk menghidupkan dakwah, atau kau malah akan mati tanpa sempat bersyiar.

"Astaga! Kemana aku beberapa hari ini?" kesal Nisa tertunduk malu. Dipandangnya monitor beberapa detik, dikumpulkan seluruh frasa dalam sebuah kotak pemahaman. Ia menulis bukan karna sok tau atau pura-pura tau, tapi ia menulis memang karna tau dan ingin menyampaikan hatta sehuruf. Ya, menulis adalah jalan pintas menyampaikan kemuliaan islam.

Apakah ia akan berakhir sebagai Soe Hok Gie yang menderita karna tulisannya membela hak rakyat? Ataukah, ia akan ditertawakan si nasionalisme yang masih datang meneror naskahnya? Padahal sebelumnya, mereka berdua teman berbagi cerita di atas kertas. Tapi kini, si jurnalis menjauh akibat kemarahannya pada kampanye Nisa yang dianggap tak berkesudahan.

"Aku tak menyangka kau sebegitu fanatik pada pikiranmu, Nis.." protes sang reporter dengan nada ketus.
"Aku hanya menunjukkan kebaikan agamaku pada dunia, agar mereka lebih rindu pada Khalifah, bukan malah rindu pada Dilan.." sahut Nisa yakin.

"Ah, kau memang selalu begitu. Dari dulu kefanatikanmu tak pernah berubah,"
Nisa lama menimbang-nimbang, kemudian ia berujar dengan sedikit gumul, "Aku tak paham maksudmu, memangnya ada istilah kefanatikan dalam agama? Atau mungkin yang kau sebut itu semacam ketaatan?" celoteh Nisa makin tak terima.

Tut. Tut. Tut. Perbincangan dua orang terputus oleh pemblokiran pemerintah yang dilakukan sepihak. Sudahlah mendaftar ulang SIM Card tak berhasil, menyampaikan argumen pun terhalang oleh kebijakan dzholim yang mengada-ada. Nisa menghela nafas, ia nyalakan televisi dan kembali pikirannya dikacaukan oleh aksi demonstrasi para pedagang, mereka menuntut penguasa mencabut kebijakan registrasi SIM Card. 

Sungguh program ngawur itu hanya merugikan rakyat banyak. Nisa semakin geram dengan ulah pemimpin boneka hari ini. Dimatikannya telepon genggam, ditutupnya monitor laptop, disunyikan volume tivi, lalu ia mulai menggerutu di balik kertas-kertas putih tak bersuara.

Ada apa dengan dunia sastra? Belakangan Nusantara dihebohkan oleh prediksi penulis novel Ghost Fleet, anehnya semua netizen dibuat percaya tanpa mikir. 'Indonesia mungkin bubar tahun 2030,' begitu komentar kilat berseliweran di berbagai media yang ditonton Nisa. Padahal, itu hanya novel. Yang Nisa pahami, novel cuma seperangkat genre bernuansa fiksi, bisa jadi benar atau bisa jadi hanya mainan imajinasi penulisnya.

"Tapi, novel itu ditulis oleh para ilmuan dan peneliti.." batin Nisa berdiskusi seorang diri.
"Lalu sekarang puisi, dan mereka semua tau bahwa karya ini bergenre fiksi. Kenapa harus panik?" Nisa semakin bingung mendudukkan derita pribumi. Sebagian  pihak menyebut Puisi Ibu Indonesia itu tak terlalu penting, sebagian lagi latah memviralkannya setengah matang. Bagi Nisa, tak ada yang boleh luput dari pandangan. Sekecil apapun fakta yang menyerang dunia sastra hari ini, baginya itulah buah dari diterapkannya kebebasan berekspresi tanpa batasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun