Mohon tunggu...
Baiq Cynthia
Baiq Cynthia Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger, Content Writer, dan Mom to Be

Menulis membuatmu ada. Email: Baiq_cynthia@yahoo.com IG : BaiqCynthia Facebook : Baiq Cynthia Sribulancer : Baiqcynthia

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sebelum Waktunya Tiba Pasti Butuh Persiapan

20 Januari 2022   06:06 Diperbarui: 20 Januari 2022   06:12 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di akhir bulan-bulan sebelum kepergiannya, aku benar-benar tertekan cukup dalam. Menjadi perawat pribadinya, kondisinya juga makin melemah. Kami membawa dokter yang bisa datang ke rumah, setiap hari. 

Nenekku sudah tidak bisa jalan dan keluarga kami tidak punya mobil. Aku menjaga siang-malam, karena dokter dari RS hanya membantu memasangkan infus dan memberikan suplemen agar mau makan dan pulih. Tetapi yang terjadi Umik kesakitan dengan jarum infus, terkadang menolak diinfus, meracau minta dibuka infusnya, enggak mau makan. 

Mengalami pendarahan hebat, sampai aku sendiri yang membersihkan darah maupun gumpalan-gumpalan itu. Tiap hari sebelum mau pakai popok dewasa, ia bolak-balik ke kamar mandi menungguku. Mandi juga dengan bantuanku.

Menurut dokter yang sering berkunjung, kondisinya memang udah menurun. Gumpalan darah yang keluar itu lumrah terjadi pada lansia, kemungkinan organ-organ yang sudah tidak produktif itu dikeluarkan. Aku sedih, melihat keadaannya yang semakin ringkih.

Aku sendiri memeluk diri, karena jauh dari suami, merawat balita dan tengah hamil masa pandemi.

Namun, aku bahagia menjalaninya bisa mengabdi untuknya. Aku terbiasa bangun tengah malam. Ketika Umi memanggil aku yang tadinya tidur langsung bangun. Kadang tengah malam beliau merasa haus atau lapar. Kadang hanya butuh ditemani. 

Perjuangan beliau merawatku dari bayi sampai aku dewasa begitu besar. Ia menjalani dengan sabar dan ikhlas. Walaupun udah janda, beliau masih mau bekerja (jualan jamu keliling) untuk biaya sekolahku. Sejak kecil pun aku terpisah dengan orang tuaku.

Kini aku sadari, perjuangan menjadi ibu itu tidak mudah. Mengorbankan diri demi anak, bahkan rela menukar nyawa agar anak bahagia, anak tidak seperti orang tua. Pun tidak melihat sang anak menangis.

Beliau meninggal ketika aku hamil 7 bulan. Semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah. Kehilangan orang yang kita cintai itu memang berat. Tetapi kepergiannya ialah sudah suratan takdir.

Aku udah ikhlas, ia sudah tidak merasa sakit lagi di dunia. Orang yang mengajarkanku bicara, makan, dan mengajarkan sejak dini untuk bertanggung jawab. Dia memang tidak melahirkanku, tetapi kasih sayangnya melebihi ibu kandungku.

Aku banyak merefleksikan makna hidup ini, tidak ada yang abadi. Kita tidak bisa bergantung pada orang lain, harus tetap mandiri dan mempersiapkan apa pun yang harus disiapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun