Mohon tunggu...
AR Rahadian
AR Rahadian Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setetes Embun di Pagi Hari

6 April 2017   15:28 Diperbarui: 6 April 2017   23:00 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penderitaan adalah lambang kekuatan  jiwa, tak akan aku tukarkan penderitaan ini  dengan   sukacita  manusia.  Jiwaku  menemukan ketenangan manakala hatiku bersukacita menerima himpitan kesusahan  dan  kesesakan  kehidupan.  Hatiku  terpenuhi kegembiraan,  manakala  aku  bersukaria  dalam derita-Nya. Hanya satu  tujuan hidupku, membuat  DIA selalu tersenyum di sepanjang kehidupan…

…..Andi Suryadi….

Pagi yang cerah mengiringi hari ini, sinar mentari dengan hangat dan penuh kelembutan  meresap  dalam  setubuh  seorang  kakek  tua,  ia  begitu  menikmati belaian hangat sang mentari. Dalam keterbatasan fisiknya, tak terlihat wajah kelemahan terpancar dari wajahnya. Padahal ia kini hanya dapat terduduk lemah di atas kursi rodanya, kakinya sudah tak dapat lagi menopang tubuhnya. Tangannya tak  lagi sekuat  dulu,  bahkan  hanya bagian yang kiri saja yang masih dapat ia gerakkan. Pandangannya telah menjadi kabur di akibatkan penyakit katarak yang kini hinggap. Penyakit sroke yang ia derita telah menyebabkan sebagian tubuhnya tidak dapat digerakkan secara normal. Di tambah dengan penyakit diabetes yang telah lama hinggap di dalam tubuhnya, yang tak kunjung ada kesembuhan.

Sepeninggal istrinya yang begitu menyayangi dan setia menemaninya, kini ia tinggal di sebuah panti jompo. Walaupun ia memiliki tiga orang anak yang terdiri dari dua orang laki-laki dan satu orang perempuan, namun tak seorangpun yang mau merawatnya. Semuanya mundur secara teratur manakala di tunjuk untuk merawatnya, mereka beralasan hanya merepotkan mengurus seorang tua renta yang sakit-sakitan. Oleh sebab itu mereka kemudian mengirim laki-laki tua itu di sebuah panti jompo  yang bernama “Panti Kasih Tiada Batas” yang di asuh oleh sepasang keluarga muda yang telah mengabdikan diri sejak sepuluh tahun yang lalu. Panti ini dahulunya adalah rumah tempat tinggal mereka yang asri dan luas. Panti ini terletak di jalan kecil yang bernama Jalan Gotong Royong dengan akses jalan besarnya yaitu jalan Sudirman.

“Selamat pagi pak Andi” sebuah sapaan lembut menyapa kakek tua yang ternyata bernama pak Andi,

“Se..se.lamat   pagi,  nak  Aryo  dan  nak  pipit”  Jawabnya  dengan  nada  yang terbata-bata,

“Bagaimana kabarnya pak? Tadi sudah sarapan?” Tanya pipit penuh kelmbutan, Pak Andi hanya menganggukkan kepalanya,

“Sudah di minum obatnya, pak?” lanjutnya “Jika sudah, sekarang bapak istirahat yah, sebab matahari sudah mulai terik”

“Baik nak Pipit, terimakasih” Pak Andi pun menjawab, dan Pipit kemudian membantunya mendorongkan kursi rodanya menuju ruang paviliun.

Disana ada pula beberapa orang kakek dan nenek tua yang sedang asyik menonton acara televisi, di antaranya pak Muharam, pak Liem, pak Zakaria dan ibu Kulsum serta  ibu  Yanti.  Tampak  keceriaan  hadir  disana,  manakala  mereka  menonton sebuah film komedi yang di bintangi oleh almarhum Benyamin. Pak Andi pun larut dalam keceriaan dan hal itu telah mengobati kerinduan di hatinya yang berharap dapat bersama dengan anak dan cucunya, dalam sisa masa hidupnya.

Sore itu setelah melaksanakan  sembahyang,  pak Andi duduk di pinggir jendela. Tampak  tatapan  matanya  kosong,  ia  menerawang  alam  sekeliling  seakan  ia mencari sesuatu yang teramat berarti dalam hidupnya. Sesekali terlihat linangan airmata  membasahi  pipinya  dan tarikan  nafasnya  yang  panjang  pun terdengar begitu  berat…Aku  rindu  engkau  Fiona  istriku,  aku tahu engkau  kini bahagia  di surga-Nya.   Sungguh   Fiona,   engkau   adalah  yang  terbaik   yang  telah  Allah anugerahkan  dalam  hidupku.  Kesetiaan  dan kasihmu  begitu terasa olehku, aku teramat  bersyukur  telah Allah titipkan  engkau dalam  kehidupanku.  Lihatlah aku sekarang kasihku?, di senja usiaku, kini aku dalam kesunyian, dimanakah mereka buah cinta kita? Hanya engkau yang setia dan mengasihiku apa adanya bukan ada apanya.  Sayang,  bawalah  aku  serta  di taman  surga  yang  telah Allah berikan kepadamu…ti..tidak,  aku tidak boleh menangisi apa yang telah dan sedang terjadi padaku, engkau kini telah bahagia dan tak selayaknya aku menghancurkan kebahagianmu. Aku tahu engkau pun menantikan kedatanganku…pasti sayang, aku akan datang kepadamu dan kita akan bersama kembali…Fiona sayang, bersabarlah suatu saat nanti aku pasti akan datang menemui engkau dan bahkan engkau yang akan menjemput  dan mengahantarku  di tanah  perhentian…namun,  Allah masih memberikan padaku untuk sebuah tugas terakhir sebelum masa waktuku berakhir…dan  aku masih belum  mengerti dan memahami akan tugas itu..namun aku akan tetap melakukannya tanpa harus aku memahami…dalam  tarikan nafas yang ku hirup, aku masih dapat merasakan cinta dan kasihmu…terimakasih sayang atas semua kasih yang telah engkau curahkan kepadaku, anak-anak dan seluruh keluarga kita…selamat sore Fiona sayang….dan linangan airmatanya semakin deras membasahi pipinya…ia pun terhanyut dalam elegi rindunya… “Malam pak Andi, bagaimana sudah makan malam?” tanya Aryo,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun