Mohon tunggu...
Mbah Bagong Waluyo
Mbah Bagong Waluyo Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - Biasa di panggil Bagong oleh almh. Ibu, sebagai penghormatan padanya .

Seorang Mbah yang terlahir ngapak di Kebumen Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Nyepi Saatnya Mematut Diri

12 Maret 2021   21:28 Diperbarui: 12 Maret 2021   21:34 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Raya Nyepi tahun baru caka 1943 jatuh pada hari Minggu 14 Maret 2021 yang akan diperigati oleh Umat Hindu, menurut I Gusti Ngurah Sudiana dari Parishada Hindu Dhrma Indonesia Bali manusia diminta mengevaluasi diri dan merenung tentang apa yang sudah dilakukan untuk diperbaiki di kemudian hari.

Menjadi sangat menerik kemudian jika Nyepi itu dilakukan ditengah hiruk pikuknya perhelatan dunia bahkan semakin lama semakin tidak membuat manusia menjadi faham akan Tuhanya, bahkan cenderung manjadi lalai bahwa dirinya itu adalah manusia yang memiliki Tuhan.

Ini yang kemudian menjadi hal yang sangat bertentangan akan makna harfiah Nyepi dengan keadaan dunia yang tidak pernah sama sekali sepi, bahkan dua puluh empat jam dunia tidak pernah tidur untuk sekedar berhenti sejenak, mematut diri. 

Hakekat Nyepi itu sendiri sesungguhnya adalah berhenti dalam segala aktifitas, berkumpul dengan keluarga, bersama-sama tanpa suara, dalam hening, sunyi senyap meditasi untuk dapat langsung berkomunikasi pada Tuhan.

Tentu saja prosesi berkomunikasi pada Tuhan akan memudahkan kita semua bermunajat dan sekaligus mengadukan atas perbuatan yang pernah dilakukan, mengintrospeksi atas perbutan yang dilakukan, dan mematut diri untuk selanjutnya menjadi suci melangkah menyongsong dunia di kemudian hari.

Ini menjadi sangat berat dilakukan dalam kondisi dunia hingar bingar jika tidak memiliki niat yang kuat untuk mematut diri di hadapan Tuhan ketika Nyepi.

Tentunya Nyepi dalam konteks mematut diri sebetulnya tidak hanya ketika keberlangsungan Nyepi setiap tahun, bahkan sepanjang hidup mesti memiliki waktu untuk mematut diri berhenti sejenak, dan selanjutnya melangkah tegap dengan ruh Nyepi selalu di dalam jiwa.

Pada suatu kesempatan sebelum almarhum Bapak, kami semua terutama saya selalu mendapatkan wejangan-wejangan baik melalui telpon.

Bahkan setiap kali kami berkunjung tidak bosan-bosannya Bapak menesahati berkali-kali, berulang kali, dan temanya tidak pernah berubah ketika saya belum berkeluarga sampai saya sudah berkeluarga dan memiliki anak.

Nasehat itu mengalir terus dan terus disampaikan pada kesempatan kami ditelpon atau datang ke kampung, duduk dan berhadapan dengan Bapak sepanjang malam.

Ketika di kampung adalah hal yang menyenangkan tanpa bosan dengan cerita mengalir tentang petuah, pengalaman ditempat kerja Bapak, tentang saudara-saudara di kampung, tentang Mbah almarhum dan tentang apa saja saya dengarkan sampai larut malam, ada rasa dan nuansa bahagia raut wajah Bapak ketika nasehat itu tersampaikan.

Dan Bapak tidak bernah memaksa paling hanya menyampaikan "nek arep di enggo ya ngonoh, nek ora diengko ya rapa-pa" kalau kamu mau memakai nasehat Bapak ya boleh, tidak dipakai nasehat Bapak ya tidak apa-apa. 

Sepertinya ada kewajiban Bapak pada anak yang sudah tersampaikan, walau kemudian saya sebagai anak tidak melakukan nasehat itu, tidak dipermasalahnkan ole Bapak, tapi kewajiban seorang ayah untuk  menasehati anaknya sudah tersampaikan.

Nah hari-hari ini menajadi sepi, tidak ada tarikan nafas Bapak, tidak ada suara ngapak diujung telpon, tidak ada suara canda tawa Bapak dan Ibu, kapan kamu pulang? Anak-anak sehat semua kan? Sekarang kamu dimana? Dan seterusnya... 

Dalam konteks Nyepi tadi, ternyata saya perlu dan wajib merenung mengkoreksi diri atas semua nasehat-nasehat Bapak Almarhum, untuk kemudian menjalankan anjuran atas nesehat beliau, sekaligus menularkan pada anak dan keluarga, bahwa sepi atas nasehat dari Bapak atau orang tua akan terbukti ketika kita tidak bisa bertemu kembali.

Maka Nyepi adalah sebuah prosesi sakral bagi setiap manusia sebagai umat Tuhan dengan cara kita masing-masing secara terus menerus mematut diri,  sehingga menjadi manusia yang paripurna dihadapan Tuhan.

Bagong Waluyo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun