Menurut Pimpinan Pondok Pesantren Jamiatul Mukminin Nagari Sintuak Kecamatan Sintuak Tobohgadang Kabupaten Padangpariaman Azwar Tuanku Sidi kepada penulis beberapa tahun lalu, Â tata cara manjalang pusaro di beberapa nagari ada perbedaan. Di Nagari Sintuak, Tapakih, Ulakan, Tobohgadang dilakukan usai lebaran Idul Fitri. Waktunya mulai sehari usai lebaran hingga 6 hari lebaran. Artinya selama waktu puasa enam Syawal. Urang siaknya berkisar antara 8--12 orang. Karena ditambah pula dengan ratik labai (labai=pegawai masjid di nagari). Tentu di hari lebaran Idul Fitri keluarga dari rantau pulang kampung. Sehingga semua keluarga punya kesempatan untuk hadir bersama di pusaro.
"Menjelang Ramadhan, umumnya warga mengundang beberapa orang siak untuk mando'a. Di rumah, warga menyampaikan maksudnya kepada urang siak, yakni mendoakan para orangtua (leluhur) yang sudah wafat, tanaman dan harta pusaka sawah ladang yang ditinggalkan agar berkah, keluarga yang masih hidup rukun, rezeki penuh berkah," kata Azwar Tuanku Sidi yang juga Mustasyar PC Nahdlatul Ulama Kabupaten Padangpariaman ini.
Berbeda di nagari kawasan Kecamatan Sungailimau, manjalang pusaro dinamakan pula ratih pusaro. Menjelang Ramadhan, beberapa keluarga sepakat mengumumkan ratik pusaro dimulai pada hari yang sudah ditetapkan. Jumlah urang siaknya lebih sedikit, cukup 3 orang.
Ka pusaro ada beberapa hikmah yang dapat dipetik. Pertama, mendekatkan para anggota kaum yang masih hidup pada kuburan. Semua yang hadir teringat akan mati, pada suatu hari kelak juga akan dikuburkan di pandam pekuburan kaum tersebut. Sehingga selalu mengingat kematian, menjauhi perbuatan dosa dan memperbanyak amal shaleh. Kedua, memupuk rasa bergotongroyong dengan bersama-sama bersihkan pandam pekuburan. Ketiga, meningkatkan silaturrahmi sesama anggota kaum. Selama ini masing-masing anggota keluarga sibuk dengan urusan sendiri, sudah banyak pula muncul generasi baru (anak kemenakan) sehingga perlu diperkenalkan dengan dunsanak yang lain. Keempat, memperkenalkan tradisi yang sudah dilakukan kaum sejak lama kepada anak-anak dan generasi muda.
Menurut Azwar, manjalang pusaro sama saja dengan ziarah. Bedanya, ziarah dilakukan kepada kuburan guru, ulama dan wali Allah. Ziarah waktunya bisa dilakukan kapan saja. Sedangkan ka pusaro dilakukan pada waktu tertentu kepada kuburan orangtua, nenek/kakek atau keluarga terdekat. " Tradisi manjalang pusaro ini, kata Azwar, mulai dilakukan sejak Syekh Burhanuddin menyebarkan Islam di Pariaman, umumnya di Minangkabau.
Dengan adanya manjalang pusaro, silaturrahmi dan komunikasi antar sesama satu kaum/suku dapat ditingkatkan, selain mempererat rasa sekaum atau sesuku. Apalagi sebagian anggota kaum/suku sudah banyak yang merantau, suasana manjalang pusaro dapat mempererat tali persaudaraan sesama satu kaum atau satu suku. Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI