Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Biotechnologist and Food Technologist

Konsultan Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan. Penulis Artikel. Berbagi ilmu dengan cara santai. Blog pribadi: https://www.nextgenbiological.com/ Email: cristanto.bagas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pasar Tradisional adalah Kunci Ketahanan Pangan dan Kehidupan

6 Oktober 2025   20:06 Diperbarui: 6 Oktober 2025   20:06 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kehidupan pasar tradisional | Sumber gambar: The Ian/unsplash.com

Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar naik, pasar tradisional di seluruh Indonesia sudah hidup.


Aroma cabai segar bercampur wangi daun pisang, bunyi godaan pedagang memanggil pembeli, dan warna-warni sayuran memenuhi pandangan. Di tengah hiruk pikuk itu, tanpa banyak disadari, pasar tradisional menyimpan jejak gizi bangsa.

Kita sering mendengar istilah ketahanan pangan, tapi lupa bahwa fondasi sebenarnya bukan hanya di kebijakan atau teknologi tinggi. Ia justru ada di tempat yang paling sederhana, di pasar-pasar rakyat yang menjaga aliran bahan makanan dari petani ke dapur keluarga.

Pasar tradisional bukan sekadar tempat belanja. Ia adalah jantung sistem pangan Indonesia, tempat gizi, budaya, dan ekonomi rakyat bertemu setiap hari.

Pasar Sebagai Pusat Kehidupan Gizi

Sebelum ada supermarket modern, sebelum ada label "organik", pasar tradisional sudah lebih dulu menjadi ruang distribusi pangan yang beragam dan segar.
Berbeda dengan pasar modern yang dikurasi, pasar rakyat menyediakan keragaman alami dari hasil bumi lokal, contohnya pisang dari kebun tetangga, ikan dari nelayan pagi, sayur dari ladang di kaki gunung.

Keragaman ini penting. Dalam sains gizi modern, diversifikasi pangan adalah kunci asupan seimbang. Tubuh kita tidak cukup hanya dengan nasi dan lauk tunggal. Tubuh kita ini membutuhkan variasi, karbohidrat kompleks, protein, vitamin, dan mineral dari berbagai sumber.

Pasar tradisional, tanpa teori gizi pun, sudah menyediakan semuanya. Dari jagung, singkong, tempe, daun kelor, pepaya muda, hingga ikan asin. Semuanya produk lokal, terjangkau, dan segar.

Artinya, ketika kita berjalan di lorong pasar, kita sebenarnya sedang melihat peta gizi alami Indonesia.

Antropologi Gizi

Setiap daerah punya cita rasa sendiri dan itu bukan kebetulan. Di pesisir, orang makan ikan dan sayur segar karena laut dekat dan panas membuat tubuh butuh air. Di pegunungan, makanan lebih berlemak atau gurih karena suhu dingin memerlukan energi lebih besar.

Dalam konteks gizi, pasar tradisional mencerminkan antropologi rasa dan kebutuhan tubuh masyarakat setempat.
Sayur asem di Jawa, lawar di Bali, atau ikan kuah kuning di Maluku bukan sekadar hidangan, tapi adaptasi terhadap alam dan fisiologi manusia.

Itulah sebabnya, menurut FAO (2023), pendekatan gizi berbasis budaya lokal lebih berkelanjutan daripada diet seragam modern. Masyarakat cenderung mempertahankan pola makan yang sesuai dengan identitas rasa dan bahan di sekitar mereka.

Ekonomi Mikro yang Menopang Ketahanan Pangan

Setiap transaksi di pasar tradisional, sekecil apa pun, punya efek domino besar terhadap ketahanan pangan nasional.
Ketika kita membeli tempe dari ibu penjual di pojok pasar, uang itu kembali ke produsen kedelai lokal, lalu ke pengrajin, lalu ke petani. Itulah rantai ekonomi yang sesungguhnya menjaga sirkulasi pangan dan gizi di tingkat bawah.

Badan Pangan Nasional (2023) mencatat bahwa lebih dari 60 persen distribusi bahan pangan segar di Indonesia masih melalui pasar rakyat. Artinya, tanpa pasar tradisional, rantai pasok pangan kita akan pincang.

Bukan hanya ekonomi yang terjaga, tetapi juga akses gizi masyarakat kecil. Di sinilah konsep pangan berkeadilan bekerja --- di mana makanan sehat tidak menjadi kemewahan, tetapi hak semua lapisan.

Gizi yang Tidak Diukur dengan Kalori

Di pasar, gizi tidak hadir dalam label atau angka. Ia hadir dalam warna, aroma, dan keseimbangan alami bahan-bahan.
Buah pisang matang yang menggantung, pepaya yang bergetah, daun singkong yang masih basah, atau tahu hangat yang baru turun dari cetakan, semuanya adalah indikator kesegaran gizi yang mudah dikenali oleh indra manusia.

Kita tidak membutuhkan alat laboratorium untuk tahu mana makanan sehat. Seorang ibu di pasar tahu bahwa ikan segar adalah yang matanya jernih, bukan yang dibungkus rapi di plastik tebal.
Itulah kecerdasan pangan yang diwariskan turun-temurun sebagai bentuk pengetahuan lokal yang kini nyaris hilang di tengah kemasan instan.

Pasar, Gotong Royong, dan Keberlanjutan

Pasar tradisional tidak bisa dipisahkan dari budaya gotong royong.
Dari petani yang menitip jual hasil panen, pedagang yang saling membantu menjaga lapak, hingga pembeli yang langganan tetap datang setiap minggu. 

Pasar menjadi hidup karena relasi sosial, bukan hanya transaksi ekonomi.

Inilah bentuk teknologi sosial paling tua dan paling efektif di Indonesia. Tanpa AI, tanpa sistem digital, pasar sudah punya algoritma gotong royong yang menjaga distribusi pangan tetap berjalan bahkan di masa krisis.
Selama pandemi COVID-19, pasar tradisional adalah yang pertama pulih dan tetap aktif. Hal ini membuktikan ketangguhannya sebagai infrastruktur sosial yang paling adaptif.

Menjaga Jejak Gizi dari Pasar ke Meja Makan

Pertanyaannya sekarang: bagaimana kita memastikan jejak gizi dari pasar tetap sampai ke meja makan keluarga?
Jawabannya ada pada edukasi, penghargaan terhadap produk lokal, dan dukungan terhadap pelaku pasar.

Kita perlu mulai dari hal kecil, seperti mengajarkan anak mengenali sayur segar, memberi ruang bagi makanan lokal di program MBG sekolah, dan memprioritaskan belanja di pasar rakyat ketimbang hanya di ritel besar.
Dengan cara itu, gizi tidak hanya dibeli, tetapi dibangun bersama-sama.

Kesimpulan

Pasar tradisional adalah ruang paling jujur untuk tempat memperoleh gizi yang lengkap dan budaya sosial berpadu menjadi satu. Di sana, kita bisa melihat wajah Indonesia yang sesungguhnya, yaitu keberagam, hidup, dan saling terhubung lewat makanan.

Jika MBG adalah upaya besar negara memberi makan anak bangsa, maka pasar tradisional adalah fondasi yang membuatnya mungkin. Karena di sanalah, setiap pagi, gizi bangsa masih dijajakan dengan senyum dan tangan-tangan rakyat kecil.
Menjaga pasar berarti menjaga kehidupan, menjaga gizi, dan menjaga masa depan.

Daftar Pustaka

  • Badan Pangan Nasional. (2023). Distribusi Pangan Nasional dan Peran Pasar Rakyat.

  • FAO Indonesia. (2023). Local Food Systems for Nutrition Security.

  • Kementerian Perdagangan RI. (2022). Pemetaan Pasar Tradisional dan Ketahanan Ekonomi Lokal.

  • World Bank. (2024). Grassroots Food Systems and Nutrition Inclusion.

  • Hidayat, A. (2023). Antropologi Rasa dan Ekonomi Pasar Lokal di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun