Mohon tunggu...
ayub badrin
ayub badrin Mohon Tunggu... Penulis - Ayub Badrin seorang jurnalis

Selain menggeluti dunia Teater saya juga aktif di media masa lokal.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menonton Monolog "Prita Istri Kita" di TBY

20 Desember 2018   22:18 Diperbarui: 20 Desember 2018   22:34 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Prita Istri Kita' Tangisan Perempuan Melayu Punya Suami Guru yang Jujur"Di usianya yang tidak lagi terbilang muda, Wan Hidayati masih terlihat energik di atas panggung. Wan juga terlihat penuh kharisma dan mampu membuat penonton seperti terhipnotis saat menyaksikan monolog "Prita Istri Kita", di Gedung Societet Militair Taman Budaya Yogyakarta, Minggu (16/12/2018).

Prita Istri Kita karya Arifin C Noer ini cukup menarik untuk ditonton. Selain dialog-dialognya diucapkan dengan dialek Medan, monolog juga disisipi gerak-gerak tarian dengan akar tradisi Melayu. Musik yang tertata apik membuat penonton betah menyaksikan pertunjukan hingga usai.

Monolog ini dibuka dengan seorang lelaki (Burhan Syarif) memakai kostum Teluk Belanga menyampaikan petatah-petitih. Melalui pantun khas Melayu, lelaki tua itu menyapa penonton mengucap salam dan juga mengatakan bahwa mereka adalah rombongan dari Teater Nasional Medan.

Hampir sepanjang pertunjukan penonton juga dihibur dengan lagu-lagu Melayu diiringi musik yang juga khas Tanah Deli itu. Barangkali Wan Hidayati mampu menjadi pengobat rindu warga Sumut yang ada di Yogjakarta malam itu. Kerinduan akan lantunan lagu-lagu dan juga musik Melayu yang khas.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Sepertinya itulah yang menjadi kekuatan pertunjukan yang disutradarai Yan Amarni Lubis ini. Salah seorang Penonton, Irul, warga Medan yang sedang menimba ilmu di Yogjakarta mengaku sangat menikmati pertunjukan Wan Hidayati yang juga Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut ini. Terutama lagu-lagu Melayu lama yang dilantunkan Eva Gusmala Yanti.

"Bagus mainnya ibu itu (Wan Hidayati, red). Apalagi dibawakan dengan dialek Medan. Setidaknya kita seperti sedang berada di Medan. Apalagi musik dan lagu-lagunya bagus dan asyik didengar," ujar Irul saat diwawancarai usai pementasan.

Di pentas, dibangun setting dinding rumah papan oleh Handono Hadi dan Hadira Herawadi. Ada meja makan yang di atasnya terlihat bakul nasi, ceret air dan piring-piring serta cangkir yang semuanya terbuat dari kaleng. Selain menginformasikan kehidupan yang serba kekurangan juga menggambarkan era tahun 80 an. Di sebelah kiri panggung sebuah kursi goyang terletak begitu saja.

Tampak Prita keluar dari dapur lantaran tutup cangkir kong terjatuh dan menggelinding ke ruang tamu. Sambil mengatakan, "salah ku...salah ku..." istri guru yang tak mau menerima amplop itu, setengah berlari mengejar tutup kong yang menghilang ke balik wing pentas.

Kemudian dia seperti menyesali telah begitu bodohnya karena selalu membayang-bayangkan hidupnya bersama suaminya yang miskin. Sambil menunggu suaminya pulang mengajar, Prita pun asyik masuk dengan segala khayalannya.

Prita harus menerima nasibnya sebagai perempuan Melayu Deli yang suaminya hanya seorang guru di sekolah negeri. Arifin C Noer dengan apik membidik kehidupan seorang guru pemerintah dengan gaji kecil yang waktu itu hanya berkisar beberapa puluh ribu saja.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
"Kau tega Mas, kau tega....setiap hari hanya memberi aku makan, 5 potong tempe dan sayur bayem," kata Prita.

Oleh karenanya menjadi sah jika wanita ini kemudian membayangkan seorang lelaki bernama Benny Brewok yang suka mengajaknya berenang. Atau pergi dengan becak. Bahkan dicium di dalam becak. Sebuah romantisme yang tidak didapatnya dari suaminya, Broto.

Wan Hidayati mampu membongkar sisi-sisi gelap Prita. Menjadi wakil dari nasib berjuta wanita Indonesia yang di zaman itu, nyaris hanya mampu bersandar pada penghasilan suami. Berbeda dengan kehidupan di masa sekarang. Perempuan Indonesia sudah banyak yang mempunyai penghasilan sendiri, bahkan berprofesi menjadi guru.

Kemiskinan Prita juga bisa kita tangkap saat Prita untuk mendengarkan radio saja harus menguping dari radio terangganya yang selalu diputar keras-keras. Tak jarang suara berisik itu membuat mereka ribut dan bertengkar. Sebagai perempuan Medan, Prita galak. Tapi lagi-lagi dia harus menahan emosinya, lantaran suaminya yang orang Jawa itu selalu bersikap nrimo sepanjang hidup.

"Untung saja suamiku, si Broto itu melarang. Kalau tidak, sudah ku patah-patahkan tulangnya," kata Prita sambil membuka jurus-jurus silat Melayunya.

Tetapi itu semua menjadi duri dalam daging. Meski Prita tahu kalau suaminya sangat menyayanginya. Dan dia juga harus patuh.

Dua budaya yang berbeda inilah yang diperankan Wan Hidayati dengan apik. Bagaimana di satu sisi dia harus menjadi Prita yang biasa dengan budaya yang lebih dinamis namun di sisi lain harus patuh pada suami yang lembut bagai priayi.

Benturan-benturan psikis seperti inilah yang mangaduk-ngaduk perasaan Prita, hingga di saat sendiri, di saat suaminya tak di rumah, ia melawan. Tetapi lagi-lagi Prita hanya bisa puas melawan, meludahi, dalam khayalannya di saat sendiri.

Sampai pada suaminya pulang.  Perempuan itu pun harus mengakhiri segala resah gundahnya. Dia harus menelan segala amarahnya. Kembali menjadi istri yang harus manut dan tunduk pada suami yang 'Njawa'.

"Suamiku pulang. Aku harus kembali menjadi istri yang manis," ujarnya sambil menyapu genangan air matanya.

Dan tepuk tangan pun bergemuruh di gedung teater yang pada malam itu banyak ditonton orang Sumut yang sedang berada di Yogja ini.

Keberhasilan monolog Teater Nasional Medan dengan aktris handalan, Wan Hidayati ini, tak terlepas juga didukung oleh, para pemusik yang ditata apik oleh Syahrial Felani (Mak Yal) yang sekaligus menjadi penata gerak.

Meski permainan Wan Hidayati agak terasa sedikit lamban, seperti terlihat kelelahan, namun dia mampu menjaga irama dan tempo sehingga masih enak ditonton. Bravo buat Wan Hidayati.

Ikut menyaksikan pergelaran berdurasi satu jam itu, Kepala Taman Budaya Yogjakarta, Juliana Eni Lestari Rahayu, Kepala Taman Budaya Sumatera Utara, Deny Elpriansyah, Kepala Seksi Publikasi dan Dokumentasi Seni Budaya Yogjakarta, Siswati,  Ketua Teater Alam Yogyakarta,  Merit Hendro dan Ketua Dewan Kesenian Medan, Rianto Aghly, SH.

Penulis: Ayub Badrin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun