Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak-anak Mahakam (1)

1 Mei 2018   07:13 Diperbarui: 1 Mei 2018   09:13 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: langitkaltim.com

Saya lahir di Kota Balikpapan, kota yang terkenal sebagai salah satu daerah penghasil minyak bumi sekitar empat puluh tahun yang lalu.  Kota Balikpapan bersih dan lenggang.  Saya lahir dari pasangan Jawa dan Sunda. Papa asli dari Solo dan Mama dari Garut.   Memang selain penduduk asli, kebanyakan penduduk di kota ini adalah pendatang dari luar daerah seperti dari Banjarmasin, Makassar, Madura, dan Pulau Jawa.  Penduduk yang berasal dari negara lain juga cukup banyak karena beberapa perusahaan minyak mempekerjakan mereka. Adik pertama bernama Pram lahir di sini dua tahun kemudian.

Ketika usia saya menginjak  empat tahun, kami pindah ke Samarinda yang berjarak sekitar seratus dua puluh kilometer dari Balikpapan.  Di kota Samarinda inilah lahir si bungsu yang biasa kami panggil Yar.   Suatu hari Yar pernah protes mengapa tempat lahirnya di Samarinda bukan Balikpapan.  Pikirnya Balikapapan terdengar lebih keren dibandingkan dengan Samarinda.

"Mengapa Yar tidak lahir di Balikpapan seperti kakak-kakak?"

"Karena kita sudah pindah ke Samarinda, Yar," kata Papa sambil mengelus lembut kepala Yar.

"Kenapa tidak tunggu Yar lahir dulu baru pindah?"

Papa dan Mama justru tertawa mendengar pertanyaan Yar yang polos. 


Lain ladang lain belalang, lain kota lain pula budayanya.  Tidak seperti Balikpapan yang dekat dengan laut, Samarinda justru lebih dekat dengan sungai.    Maka tidak aneh bila Balikapapan terlihat lebih sibuk dibandingkan dengan Samarinda sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Timur.    Di Balikpapan justru terdapat pelabuhan utama untuk arus barang di Provinsi Kalimantan Timur.   Selain itu bandara internasional ada di kota  ini pula.   Tak aneh, suasana di Samarinda terasa lebih santai dibandingkan Balikpapan. Bahkan banyak orang menyangka bahwa Balikpapan adalah ibukota Provinsi Kalimantan Timur.  Sampai sekarangpun saya masih banyak menemukan orang beranggapan demikian. 

Sungai Mahakam merupakan sungai terpanjang kedua di Indonesia setelah Sungai Barito.   Panjang sungai Mahakam hampir seribu kilometer melintasi wilayah Kabupaten Kutai Barat di bagian hulu, hingga Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda di bagian hilir.  Sungai Mahakam membelah kota menjadi Samarinda dan Samarinda seberang.

Kami tinggal di kompleks Prefab Segiri, dekat dengan Taman Makan Pahlawan Kusuma Bangsa, GOR Segiri, dan Pasar Pagi.   Perumahaan di kompleks ini rata-rata masih dibuat dari kayu dengan atap rumah masih dari seng.  Pondasinya dari kayi besi (ulin) kokoh berdiri di atas rawa.   Kayu ini memang terkenal kuat.  Bila turun hujan lebat, suara bising seng sering membangunkan penghuninya.   Kayu ini anti rayap dan tahan terhadap air.    Kami tinggal di Jalan S. Parman  (sekarang sudah berubah jadi Jalan Gamelan.  Nama besar pahlawan revolusi S. Parman lebih cocok digunakan untuk nama jalan kota bukan jalan kompleks). 

Rumah kami bernomor 11/A berada di ujung jalan yang buntu.   Hingga sekarangpun saya masih bertanya-tanya mengapa rumah kami bernomor 11/A sedangkan nomor 11/B tidak pernah ada.   Hal lucu lainnya, jalan aspal di jalan S.Parman hanya sampai tetangga sebelah kami, sedang depan rumah kami masih jalan tanah.   Jadi kalau hujan jadi becek.  Di sisi kanan rumah kami hanya rawa dan alang-alang dan tumbuhan liar hingga ke bibir sungai yang jaraknya dua ratus meter. Itu sebabnya beberapa kali rumah kami kemalingan karena di sisi rumah gelap dan sepi (sekarang sudah padat oleh perumahan liar hingga ke bibir sungai). Hanya ada jalan setapak dibuat dari kayu dan berada di atas semak belukar. 

Di depan rumah juga ada  parit dengan kedalaman satu meter dengan lebar satu setengah meter.   Air di parit biasanya hanya sedalam mata kaki orang dewasa kecuali jika hujan lebat, permukaan air naik hingga setengah meter bahkan lebih.  

Anak sungai dekat rumah kami dinamakan sungai Karang Mumus.    Waktu airnya masih dalam dan deras.  Selain itu masih ada buaya yang kadang menerkam warga yang memancing atau mandi di sungai.  Itu sebabnya kami selalu diawasi secara ketat kalau sedang bermain di luar rumah.  Takutnya kami berenang di anak sungai tanpa diketahui orang lain.  Orang yang jalan kaki melewati jembatan kayu memanjang dengan lebar hanya setengah meter di atas tanah rawa saja masih sangat jarang.   Saya juga diwanti-wanti Mama untuk mengawasi adik-adik.

"Yudi, jangan pernah mengajak Pram, dan Yar ke sungai.  Di sana airnya dalam dan ada buayanya," kata Mama menakut-nakuti dan itu berhasil. 

Jadi kami hanya melihat sungai Karang Mumus dari teras rumah.  Kalau malam di arah sungai gelap gulita.  Tak nampak apapun.  Hanya suara kodok, jangkrik, dan binatang yang terdengar.  Entah mengapa saya merindukan suara alam itu (dibandingkan hiruk pikuk ibukota).

Di sisi kiri rumah kami adalah rumah Pak Nurhan.   Anak mereka ada empat.  Anak bungsu mereka bernama Hadi.  Usianya sebaya denganku hanya saja ia lebih tua dua bulan.    Hadi adalah sahabatku yang paling awal.  Anaknya tidak pemalu dan pemberani.    Hadi datang bersama ibunya untuk bertamu.  Ia yang duluan yang menghampirku yang hanya diam berdiri di dekat pintu kamar.   Saya masih malu dengan orang asing yang datang ke rumah.   Hadi tersenyum.

"Kamu anak baru ya?  Saya tinggal di rumah sebelah.  Saya Hadi.   Nama kamu siapa?"

"Yudi."

"Kamu punya mainan apa di rumah?" tanyanya ingin tahu.

"Ada banyak mobil-mobilan.  Robot-robotan juga ada.  Mau lihat mainanku?"

"Boleh."

Kami langsung akrab sejak perkenalan itu.

Saat pertama kali masuk sekolah di TK Cendrawasih, ternyata saya dan Hadi satu kelas.   Awalnya Mama dan mamanya Hadi bareng mengantar saya dan Hadi ke taman kanak-kanak.  Mama Hadi mengantar hanya selama seminggu tapi saya tidak.  Saya diantar jemput sekolah sejak awal masuk hingga selesai belajar di TK itu.    Saya masih suka tertawa ketika melihat foto dokumentasi Papa ketika saya pertama kali masuk TK.   Di foto itu ada saya dan Hadi yang ditemani mama kami masing-masing.   Berdiri persis di belakang kursi kami.

Di sebelah rumah Hadi, adalah rumah Pak Ruslan.   Anaknya juga ada empat orang.   Dua perempuan dan dua laki-laki.   Anak ketiga Pak Ruslan bernama Iyan.    Tubuhnya lebih kecil dibandingkanku meski kami yang sebaya.   Namun sifat Iyan hampir sama denganku, pemalu dan pendiam.  Ketika pertama kali bertemu kami hanya berdiam saja.  Saya tersenyum, dia tersenyum.  Saya diam, dia juga ikut-ikutan diam.   Bila kami main berdua pun hampir tanpa suara.  Sampai Mama heran.  

"Oh ada Iyan....kok tidak kedengaran suaranya?" kata Mama.

Silent is gold, mungkin itu prinsipnya.  

Ada satu lagi sahabatku.   Rumahnya tepat berada di depanku.   Ada dua rumah kembar yang saling menempel.   Nah salah satunya adalah rumah Eka.   Sahabatku yang terakhir ini anaknya item dan lincah.  Ia paling suka jadi pengikutku dan sok tahu.   Ia pernah makan sayur bayam, katanya ia sudah sekuat Popeye.

"Kalau tidak percaya, tinju saja lenganku."

Eka menyodorkan lengan atasnya yang kerempeng untuk jadi sasaran percobaan.

"Benar kamu mau ditinju?" saya ragu-ragu

"Coba saja," katanya yakin.

Saya meninju lengan Eka dengan sekuat tenaga.  Awalnya Eka hanya diam, tapi lama kelamaan ekspresinya mulai berubah.  Matanyanya mulai menitikkan air mata.   Tak lama kemudian Eka menjerit kesakitan dan langsung pulang ke rumah sambil menangis.  Ibunya sampai datang ke rumah menanyakan apa yang baru saja terjadi, terus terang saya ketakutan.  Jadi saya hanya bisa diam saja ketika mamanya menanyakan mengapa saya memukul Eka.  Untung ada Hadi yang menjelaskan apa yang terjadi.  Kasihan Eka, ia malah tambah dimarahi mamanya.

Saya dan Eka bermusuhan selama satu minggu.  Eka mengurung diri di rumah, tidak mau keluar rumah.   Entahlah, mungkin ia  malu atau marah.   Atau dua-duanya.   Pas hari ketujuh, ketika saya, Hadi, dan Iyan bermain kelereng bersama di depan rumahnya, Eka datang menghampiri. 

"Boleh saya ikutan?"

Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutnya.   Apalagi ketika ia menang banyak kelereng, Eka jadi banyak tertawa dan kami semua sebal.    Sepertinya kami sepakat dalam diam untuk memenangkan Eka agar ia senang. Biasanya Eka-lah yang paling sering kalah kalau bermain kelereng.   Setelah main kelereng kami sudah berteman seperti biasa.    

Seiring dengan perkembangan Samarinda, jumlah pendatang pun bertambah.   Awalnya ada satu rumah di ujung jalan buntu S. Parman, persis di lokasi tusuk sate.   Kami memanggilnya Julak Mamat.  Ia buka warung sederhana di rumahnya.   Jualan wade (kue) bingka labu yang rasanya enak.     Julak juga berjualan manisan seperti nanas dan mangga.   Jajanan terakhir ini Pram sangat suka.   Selain itu Julak juga menjual makanan ayam dan ikan bumbu merah khas Kalimantan Timur.   

Hanya dalam jangka waktu tiga tahun, tanah kosong di pinggir sungai Karang Mumus sudah dipadati puluhan rumah bahkan lebih.   Saya jadi teringat ada orang yang berkelahi gara-gara berebut lokasi lahan.  Untung saja warga di sana berhasil memisahkan mereka.

Sejak ada banyak perumahan dan kami semakin besar, kami mulai berani berenang di sungai Karang Mumus.  Kami berenang biasanya menjelang sore hari kala cuaca tidak begitu terik.   Anak-anak kampung situ juga banyak yang berenang.   Hadi dan Eka yang biasanya berani berenang hingga ke tengah anak sungai.   Mereka memang sudah mahir berenang.   Saya biasanya hanya berenang di pinggiran sungai dengan lumpur di dasarnya sedalam betis.  Kadang kami membawa batang pohon pisang atau ban dalam mobil sebagai pelampung.   Iyan lebih banyak menonton di atas jalan kayu untuk pejalan kaki yang berada di atas rawa.   Ia tidak berani turun.

"Ayo, bakunyung,Yan!" (Ayo, berenang, Yan!)  teriakku dari pinggir sungai.   Maksudku biar ada teman yang sama-sama tidak bias berenang.

Iyan hanya menggelengkan kepala.

"Yan, ayo turun.  Masak kamu cuma nonton saja di situ," teriak Eka.  Eka kegirangan berenang hingga tidak sadar ada sampah rumah tangga di dekat.

"Eka, awas ada plastik sampah dekat kamu!"  teriakku sambil menunjuk ke arah sampah tersebut.

Eka yang lagi asyik berenang dan hanya kepalanya saja yang terlihat di permukaan.   Secara refleks ia menoleh ke samping.....pas kresek plastik hitam itu melintas dan menempel tempat di wajahnya.   Kami semua tertawa kecuali Eka.

"Hueeekkkk...... bau sampah busuk!"

Eka kehilangan selera makan hari itu.

Selain teman berenang, Eka adalah teman mengajiku di tempat Pak Sahrul.  Hanya ada lima anak yang mengaji di tempat beliau, tiga lainya adalah Pram, Yar, dan Dwi (adik Eka).  Rumah Pak Yusid terbuat dari papan kayu yang sederhana dan berada persis di atas bantaran sungai.   Tidak ada perabotan mewah di rumahnya.   Bahkan televisipun tidak ada.    Hanya ada meja tamu dan meja kerja saja di situ.   Ada pula satu kasur yang digulung untuk digunakan tidur malam hari oleh anak tertua.    Kalau mau buang air kecil kami lebih memilih pulang ke rumah atau buang air di pagar rumah orang di dekat situ.   Seram jika harus ke jamban terapung yang gelap gulita.  Apalagi kalau ada kapal yang lewat, jamban itu terombang-ambing. 

Kami berangkat mengaji bersama-sama selesai shalat Maghrib.   Biasanya dimulai yang paling kecil dulu. Dari Yar, Dwi, Pram, Eka, dan saya yang terakhir.  Sebagai yang paling akhir kebagian giliran mengaji dan yang paling lama pelajaran mengajinya, saya sering ditinggal sendirian.    Biasanya setelah Pram selesai mengaji, ia mengajak Dwi dan Yar pulang duluan.   Meninggalkan saya dan Eka.    Sialnya, Eka juga tidak sabaran menunggu.   Ia lebih memilih pulang duluan sendirian daripada pulang bareng.    Padahal saya takut juga pulang sendirian malam-malam.    Pernah saking takutnya saya lari dan terjerebab pada jalan kayu yang rapuh sehingga Al Qur'an terlempar dari dekapan.   Itu semua membuat saya ketakutan.   Saya ciumi Al Qur'an itu berkali-kali. Takut Tuhan marah.

Bersambung......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun