Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak-anak Mahakam (1)

1 Mei 2018   07:13 Diperbarui: 1 Mei 2018   09:13 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: langitkaltim.com

Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutnya.   Apalagi ketika ia menang banyak kelereng, Eka jadi banyak tertawa dan kami semua sebal.    Sepertinya kami sepakat dalam diam untuk memenangkan Eka agar ia senang. Biasanya Eka-lah yang paling sering kalah kalau bermain kelereng.   Setelah main kelereng kami sudah berteman seperti biasa.    

Seiring dengan perkembangan Samarinda, jumlah pendatang pun bertambah.   Awalnya ada satu rumah di ujung jalan buntu S. Parman, persis di lokasi tusuk sate.   Kami memanggilnya Julak Mamat.  Ia buka warung sederhana di rumahnya.   Jualan wade (kue) bingka labu yang rasanya enak.     Julak juga berjualan manisan seperti nanas dan mangga.   Jajanan terakhir ini Pram sangat suka.   Selain itu Julak juga menjual makanan ayam dan ikan bumbu merah khas Kalimantan Timur.   

Hanya dalam jangka waktu tiga tahun, tanah kosong di pinggir sungai Karang Mumus sudah dipadati puluhan rumah bahkan lebih.   Saya jadi teringat ada orang yang berkelahi gara-gara berebut lokasi lahan.  Untung saja warga di sana berhasil memisahkan mereka.

Sejak ada banyak perumahan dan kami semakin besar, kami mulai berani berenang di sungai Karang Mumus.  Kami berenang biasanya menjelang sore hari kala cuaca tidak begitu terik.   Anak-anak kampung situ juga banyak yang berenang.   Hadi dan Eka yang biasanya berani berenang hingga ke tengah anak sungai.   Mereka memang sudah mahir berenang.   Saya biasanya hanya berenang di pinggiran sungai dengan lumpur di dasarnya sedalam betis.  Kadang kami membawa batang pohon pisang atau ban dalam mobil sebagai pelampung.   Iyan lebih banyak menonton di atas jalan kayu untuk pejalan kaki yang berada di atas rawa.   Ia tidak berani turun.

"Ayo, bakunyung,Yan!" (Ayo, berenang, Yan!)  teriakku dari pinggir sungai.   Maksudku biar ada teman yang sama-sama tidak bias berenang.

Iyan hanya menggelengkan kepala.

"Yan, ayo turun.  Masak kamu cuma nonton saja di situ," teriak Eka.  Eka kegirangan berenang hingga tidak sadar ada sampah rumah tangga di dekat.

"Eka, awas ada plastik sampah dekat kamu!"  teriakku sambil menunjuk ke arah sampah tersebut.

Eka yang lagi asyik berenang dan hanya kepalanya saja yang terlihat di permukaan.   Secara refleks ia menoleh ke samping.....pas kresek plastik hitam itu melintas dan menempel tempat di wajahnya.   Kami semua tertawa kecuali Eka.

"Hueeekkkk...... bau sampah busuk!"

Eka kehilangan selera makan hari itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun