Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutnya. Â Apalagi ketika ia menang banyak kelereng, Eka jadi banyak tertawa dan kami semua sebal. Â Â Sepertinya kami sepakat dalam diam untuk memenangkan Eka agar ia senang. Biasanya Eka-lah yang paling sering kalah kalau bermain kelereng. Â Setelah main kelereng kami sudah berteman seperti biasa. Â Â
Seiring dengan perkembangan Samarinda, jumlah pendatang pun bertambah. Â Awalnya ada satu rumah di ujung jalan buntu S. Parman, persis di lokasi tusuk sate. Â Kami memanggilnya Julak Mamat. Â Ia buka warung sederhana di rumahnya. Â Jualan wade (kue) bingka labu yang rasanya enak. Â Â Julak juga berjualan manisan seperti nanas dan mangga. Â Jajanan terakhir ini Pram sangat suka. Â Selain itu Julak juga menjual makanan ayam dan ikan bumbu merah khas Kalimantan Timur. Â Â
Hanya dalam jangka waktu tiga tahun, tanah kosong di pinggir sungai Karang Mumus sudah dipadati puluhan rumah bahkan lebih. Â Saya jadi teringat ada orang yang berkelahi gara-gara berebut lokasi lahan. Â Untung saja warga di sana berhasil memisahkan mereka.
Sejak ada banyak perumahan dan kami semakin besar, kami mulai berani berenang di sungai Karang Mumus. Â Kami berenang biasanya menjelang sore hari kala cuaca tidak begitu terik. Â Anak-anak kampung situ juga banyak yang berenang. Â Hadi dan Eka yang biasanya berani berenang hingga ke tengah anak sungai. Â Mereka memang sudah mahir berenang. Â Saya biasanya hanya berenang di pinggiran sungai dengan lumpur di dasarnya sedalam betis. Â Kadang kami membawa batang pohon pisang atau ban dalam mobil sebagai pelampung. Â Iyan lebih banyak menonton di atas jalan kayu untuk pejalan kaki yang berada di atas rawa. Â Ia tidak berani turun.
"Ayo, bakunyung,Yan!" (Ayo, berenang, Yan!) Â teriakku dari pinggir sungai. Â Maksudku biar ada teman yang sama-sama tidak bias berenang.
Iyan hanya menggelengkan kepala.
"Yan, ayo turun. Â Masak kamu cuma nonton saja di situ," teriak Eka. Â Eka kegirangan berenang hingga tidak sadar ada sampah rumah tangga di dekat.
"Eka, awas ada plastik sampah dekat kamu!" Â teriakku sambil menunjuk ke arah sampah tersebut.
Eka yang lagi asyik berenang dan hanya kepalanya saja yang terlihat di permukaan. Â Secara refleks ia menoleh ke samping.....pas kresek plastik hitam itu melintas dan menempel tempat di wajahnya. Â Kami semua tertawa kecuali Eka.
"Hueeekkkk...... bau sampah busuk!"
Eka kehilangan selera makan hari itu.