Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Asumsi Metafisis dalam Diskursus Positivisme Logis

4 September 2019   21:48 Diperbarui: 5 September 2019   12:07 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar awal abad 20an yaitu antara 1920-1930an, muncul gebrakan yang berupaya menggiring metodologi dan bahasa (matematika) sains dalam diskusi filosofis. 

Gebrakan yang dipelopori Lingkaran Wina di bawah pimpinan Moritz Schlick ini bertujuan menyingkirkan asumsi  terutama yang berbasis agama karena dianggap tidak memadai, tidak berdasar, dan samar.

Asumsi metafisis tidak mampu menjelaskan peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan kondisi universal sehingga Rudolph Carnap menganggapnya tidak layak didiskusikan pada tataran teoretis dan menempatkannya dalam kategori seni bersama musik dan puisi. 

Dalam The End of Metaphysics-nya, Carnap optimis bahwa Lingkaran Wina mampu menghadirkan filsafat sains yang materialis dan anti-metafisika.

Rudolph Carnap sendiri banyak dipengaruhi oleh pemikiran Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein. Baginya, simpulan-simpulan yang mendasari sebuah pernyataan tidak hanya menyatakan struktur logis masing-masing elemen dari kalimatnya namun juga mesti diverifikasi rujukan kasusnya di dunia nyata.

Verifikasi struktur logis kalimat dari pernyataan itu dibahas secara filosofis sedangkan verifikasi kasus melalui ujicoba empirik yang dirujuk oleh pernyataan itu dibahas secara ilmiah.

Pendekatan ilmiah dalam penentuan suatu pernyataan itu secara empiris logis atau tidak ini dikenal dengan mazhab Positivisme Logis. Mazhab ini, dalam perkembangannya, tidak hanya menyasar filsafat namun juga seluruh spekulasi yang dianggap tidak memenuhi syarat ilmiah secara metodologis. 

Itu berarti bahwa seluruh pernyataan dan teori yang tidak dapat diverifikasi secara empirik melalui ujicoba dan pengamatan langsung mesti ditolak.

Moritz Schlick sebagai pendiri Lingkaran Wina menganggap sebuah pernyataan dapat diterima dan berlaku jika definisi yang dicakupnya mengacu sekaligus dapat dibuktikan oleh dunia fisik.

Baginya, dunia fisik membatasi pemahaman kita akan sebuah definisi yang dibangun untuk membantu kita memahami sebuah pernyataan. Sehingga pernyataan itu harus dibuktikan secara empirik dan dijelaskan menurut hukum-hukum fisika. 

Selain pembuktian itu, sebuah pernyataan hanya sekadar ekspresi ide dan oleh karenanya tidak dapat ditanggapi secara serius.

Alfred Jules Ayer menawarkan sebuah simpulan dalam Language, Truth, and Logic-nya yang menyebutkan bahwa seluruh pernyataan yang dapat diverifikasi, baik benar maupun salah, itu dapat dipahami.

Sebaliknya, baik sains, agama, maupun filsafat jika tidak dapat diverifikasi maka pernyataannya dianggap tidak masuk akal. Termasuk etika yang hanya dapat diuji melalui perilaku emosional yang ditunjukkannya. Ayer meyakini bahwa sebuah fakta mesti dipersepsi melalui data empirik yang menjadi penopangnya.

Ayer mengajukan pendekatan fenomenalisme dalam analisis pernyataan yang diajukan sebagai simpulan ilmiah. Menurut pendekatan ini, objek material yang dirujuk oleh sebuah kalimat dikonstruksikan sedemikian rupa sebatas informasi yang diperoleh lewat pencerapan inderawi kita. 

Sebuah fakta, dengan demikian, dinyatakan secara hipotetik bergantung pada kondisi dan pengalaman seseorang ketika menemui fakta itu secara langsung. Namun persepsi orang itu terhadap fakta yang ditemuinya telah dibentuk oleh pernyataan yang ia peroleh sebelumnya.

Karl Popper lalu mengajukan kritik terhadap metode verifikasi melalui Logic of Scientific Discovery-nya dengan menyatakan bahwa metode itu juga menyisipkan masalah.

Menurutnya, banyaknya jumlah pengamatan yang dilakukan tidak menjamin keabsahan suatu teori. Sebab jika ada satu kasus yang menyangkal temuan dari seluruh pengamatan itu maka teori yang diajukannya mesti pula ditolak.

Popper menawarkan syarat falsifikasi sebagai kritik terhadap metode verifikasi. 

Syarat ini berlandaskan pada simpulan bahwa jika suatu teori tidak dapat disangkal (tidak bisa ditunjukkan kesalahannya) oleh suatu kejadian atau peristiwa apapun dalam artian mengabaikan kasus yang ada termasuk yang belum diketahui atau didokumentasikan maka teori itu dianggap tidak dapat dikategorikan sebagai ilmiah.

Falsifikasi ini, oleh Popper, bukanlah metode namun merupakan suatu bentuk pengujian yang membedakan antara mana yang benar-benar ilmiah dan mana yang hanya nampak sebagai sesuatu yang ilmiah padahal hakikatnya tidak. 

Ayer mengaku bahwa gerakan yang diinisiasi oleh Lingkaran Wina sebenarnya terinspirasi oleh teori mekanika kuantum Schrdinger dan terutama teori relativitas Einstein yang mengkritik kemapanan teori gravitasi Newton yang sudah bertahan sejak lama.

Gebrakan ini, dalam perkembangannya, akhirnya mampu melahirkan konsep-konsep yang beberapa di antaranya bahkan sudah dieksplorasi secara mendalam.

Masalahnya adalah, konsep-konsep itu masih banyak yang belum dikonfirmasi oleh bukti empiris yang dirujuknya. Bagi Lee Smolin, konsep ilmiah mesti menghadirkan sebuah spekulasi yang belum pernah dibuat sebelumnya untuk selanjutnya siap dibuktikan oleh percobaan empirik yang belum pernah dilakukan.

Percobaan itu pun mesti membuka jalan bagi kemungkinan konsep yang diajukannya untuk ditolak atau dapat difalsifikasi. Kemungkinan itu dibutuhkan agar bahasan di ranah itu dapat dikembangkan lebih lanjut.

Untuk itu, selain falsifikasi, sebuah konsep juga butuh konfirmasi. Konfirmasi itu diperoleh dari spekulasi baru yang muncul dan argumen logisnya dapat ditelusur kembali ke konsep bersangkutan. Dengan kata lain, sebuah konsep dapat memverifikasi prediksi-prediksi logis yang muncul darinya.

Syarat-syarat itu, menurut Lee Smolin, mesti dipenuhi bagi sebuah konsep untuk dapat diuji secara mendalam. Jika pengujian itu mampu menguatkan argumen yang melandasinya, barulah konsep itu dianggap layak untuk disebut teori.

Lee Smolin menyayangkan banyaknya konsep di bidang fisika teoretis yang gagal melampaui syarat-syarat itu. Padahal, beberapa konsep di antaranya sangat populer seperti konsep dunia paralel atau multiverse hypothesis yang didukung ilmuwan kawakan seperti Stephen Hawking.

Namun konsep-konsep itu hanya berakhir spekulatif; belum menunjukkan tanda-tanda dapat diamati secara langsung. Bahkan hingga saat ini, belum satu pun bukti empiris yang bisa dijadikan pijakan argumennya. 

Sehingga bukan hanya tidak memenuhi syarat verifikasi Schlick namun juga gagal memenuhi syarat falsifikasi Popper. Konsep-konsep itu hanya menjadi artefak spekulasi teoretis dan model perhitungan matematis sehingga lebih bersifat Filsafat metafisis ketimbang Sains empiris.

Metode verifikasi sejatinya memancing kita untuk lebih mendekati sekaligus memahami dunia fisik di sekeliling kita. Tujuannya agar kita tidak terkungkung pada spekulasi pengamatan indrawi sekaligus memeroleh kepastian dari realitas yang mampu kita cerap.

Dengan verifikasi, setidaknya kita memeroleh suatu kepastian akan manfaat praktis yang bisa kita maksimalkan dari realitas itu tanpa takut terganggu oleh spekulasi metafisis yang ukurannya tidak bisa dipastikan.

Meski metode verifikasi ini, yang menuntut sebuah pernyataan mesti menghadirkan kemungkinan untuk dibuktikan secara empiris, pada prinsipnya menyalahi aturannya sendiri. Sebab pernyataan itu pun tidak mampu memastikan prinsip verifikasi pada masing-masing kasus yang diajukannya.

Sebab, tidak semua pengalaman empiris kita mampu dijelaskan secara memadai oleh bahasa. Sebaliknya, pemahaman kita terhadap realitas dibatasi oleh input bahasa yang mampu kita komunikasikan.

Syarat falsifikasi, di sisi lain, membantu kita memahami sebuah teori secara utuh dengan mengajukan spekulasi-spekulasi seputar kajian teori tersebut.

Terutama terhadap pola pikir induktif dengan bersandar pada anggapan bahwa banyaknya kasus yang konsisten dengan pernyataan tidak melulu menjadi pembuktian kebenaran sebuah teori. Sebab, mustahil bagi seseorang untuk mendokumentasikan seluruh kasus yang diperkirakan oleh teori tersebut. 

Oleh sebab itu, suatu teori mesti menyisihkan kemungkinan bagi suatu kasus yang mampu menyangkal simpulan-simpulannya. Hal ini diperlukan bagi sebuah teori untuk tetap dibahas dan dipertahankan. Namun, di satu sisi, syarat falsifikasi ini justru menguatkan metode verifikasi yang awalnya ia kritik. 

Falsifikasi mendorong proses verifikasi untuk terus mencari dan mengembangkan spekulasinya untuk diuji secara empiris. Sehingga syarat falsifikasi pun menjadi keharusan dalam proses verifikasi, dan oleh karena itu, tidak terpisahkan. 

Sebagai simpulan, sebuah gebrakan sangat dibutuhkan untuk merangkai kembali semangat untuk menggapai cita. Gebrakan itu pula mampu menghentak kita dari kenyamanan akan sebuah kemampanan yang semakin membendung kreativitas. 

Sebuah ide, bahkan yang paling radikal sekalipun, perlu mendapat tempat untuk dibahas. Entah untuk menggali spekulasi teoretis dari bangunan argumennya hingga konsekuensi logis yang bisa lahir darinya. Pilihannya; untuk disanggah atau diteruskan ke jenjang yang lebih serius.

Namun semangat itu jangan sampai membutakan mata dan pikiran kita untuk menyisihkan pandangan lain terutama yang menjadi pijakan ide-ide kritis yang kita kembangkan. 

Belajar dari semangat mazhab Positivisme Logis yang mencoba menyingkirkan asumsi filosofis lewat pendekatan empirik yang radikal, ternyata toh pada akhirnya terjebak dalam situasi yang dulunya coba ia hindari. 

Alih-alih memapankan pendekatan ilmiah lewat ujicoba dan pengamatan langsung, mazhab itu justru menyuburkan kajian fiksi ilmiah.

Albert Einstein pernah mengingatkan kita (1933) bahwa pengalaman empirik itu merupakan kriteria tunggal dari perangkat fisik yang semata berlaku bagi konstruksi matematis. 

Lee Smolin menambahkan bahwa matematika tidak diragukan lagi sudah sangat membantu proses kreativitas berpikir dan penyelesaian masalah kita namun menganggap matematika di atas segalanya dapat menjerumuskan kita ke hal yang akibatnya jauh lebih menakutkan.

Semoga saja refleksi ini menjadi bahan pertimbangan dalam kerangka pikir menimbang konsep-konsep yang bertebaran di luar sana. Konsep yang menunggu para perenung untuk menyisihkan waktu mengulik argumen-argumennya seraya menyisir dan menyeleksi konsep yang patut dipertimbangkan sebagai teori. 

Kita patut optimis, kontemplasi akan membuahkan hasil positif selama prasangka dan keangkuhan tidak turut campur tangan menentukan putusan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun