Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Delusi Identitas Ideal: Rasisme yang Mewujud Kebencian dan Kekerasan

20 Agustus 2019   21:35 Diperbarui: 21 Agustus 2019   14:38 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://unsplash.com

Delusi tentang kondisi ideal tentang identitas, sebagaimana disebutkan tadi, akan selalu melingkungi pikiran sang rasis. Karakteristik fisik seperti warna kulit, postur tubuh, hingga rambut menjadi pemicu perilaku tidak menyenangkan kepada orang lain. Bentuk dan model ideal yang ada di pikirannya dipaksakan untuk berlaku pada yang lain.

Itulah mengapa ketika berhadapan dengan etnis atau suku yang tidak sesuai dengan gambaran manusia idealnya, sang rasis akan melihat kecacatan yang harus disingkirkan karena mengancam eksistensi yang murni.

Untuk menjelaskan secara konkret isi pikiran rasisnya, ia akan merujuk pada sesuatu yang memiliki karakter yang tidak manusiawi seperti binatang. Itu lah mengapa sang rasis akan mengumpat kepada mereka yang mereka pandang rendah dengan nama binatang.

Mereka menyamakan kualitas dan karakteristik keduanya (binatang dan manusia yang diumpatnya) untuk menegaskan maksud dari pikiran rasis mereka. Demikian pula dengan umpatan lainnya seperti wajah jelek, bau tidak sedap, hingga tingkah-lakunya.

Percayalah, ketika mereka meneriaki mahasiswa(i) asal Papua dengan nama hewan, seperti itu pula perlakuan orang Belanda ketika pertama kali melihat orang Indonesia. Bukankah orang Belanda menganggap orang Indonesia sepeti binatang; jelek, bau, dan tidak mengerti tata krama?

Sehingga dengan demikian, tidak layak untuk diajak duduk bersama, berdampingan, bahkan berbicara? Ketika posisi sudah dinyatakan tidak setara, konsekuensinya hanya satu; mereka hanya cocok diperbudak saja. Aneh, kita berperilaku seperti penjajah yang dulunya kita benci. 

Pikiran rasial akan selalu menuntun pada kolonialisme. Eksploitasi terhadap tenaga mereka yang dipandang rendah untuk keuntungan sang rasis. Kalau tidak dapat tenaganya, paling tidak dapat dirampas sumber daya alamnya. Pada akhirnya, karena dianggap mengganggu ketertiban, mereka diusir dari tanahnya atau dimusnahkan. 

Seluruh catatan sejarah penjajahan selalu dimulai dengan merendahkan etnis, suku, bangsa yang tidak sesuai dengan gambaran ideal manusia menurut para penjajah itu. Seperti tanah Papua yang tidak hentinya dieksploitasi dan menghidupi banyak kalangan tapi toh tetap perhatian terhadap warga Papua selalu dianggap membebani keuangan negara.

Delusi ideal tentang supremasi identitas juga berasal dari pikiran narsistik. Mereka yang menderita narsisme akan menganggap diri dan identitas mereka sebagai pusat perhatian. Tak berhenti sampai di situ, mereka ingin semua orang mengakui hal tersebut.   

Narendra Keval, psikolog yang banyak menangani pasien dengan latar belakang rasisme, mengungkapkan alasan kenapa sang rasis selalu bersifat agresif secara verbal dengan umpatan dan hinaan itu karena hal tersebut merupakan pertahanan diri mereka yang sisi narsisnya dicederai oleh sesuatu yang tidak sesuai dengan gambaran idealnya.

Hanya dengan umpatan dan hinaan itu, ketika dilepaskan secara verbal, sang rasis yang narsis itu akan terpuaskan. Itulah mengapa para psikolog menyarankan untuk membalas para pengumpat dan penghina yang merendahkan etnis, suku, atau bangsa lain dengan menghiraukannya atau cukup dengan senyuman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun