Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dramatisasi Kemiskinan dan Bangunan Predikat Institusi Pendidikan Kita

1 Juli 2019   22:58 Diperbarui: 1 Juli 2019   23:01 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa hari yang lalu, saya menemukan tweet dari salah satu akun official institusi pendidikan yang punya nama besar, tidak hanya di Indonesia namun juga di pentas global. Tweet itu menyebutkan salah seorang siswa yang diterima sebagai mahasiswa pada lembaga pendidikan tersebut. 

Yang menyita perhatian saya pada tweet itu adalah tendensi sang admin untuk membangun sebuah predikat dengan menyebutkan identitas sang mahasiswa: "(nama mahasiswa), Anak Buruh Masak Diterima Kuliah di #(nama institusi pendidikan dimaksud)", demikian bunyi kalimatnya yang diikuti tautan berita ke laman liputannya.

Bagi saya, tweet itu menyiratkan banyak sesat pikir. Mulai dari menjadikan status seseorang sebagai objek komoditas pemompa predikat hingga konsep nilai-nilai pendidikan yang sering dipahami secara sempit. Status kemiskinan sebagai misal di mana masyarakat sepertinya begitu menikmati dramatisasi kemiskinan sebagai sebuah sajian tontonan. Beberapa stasiun tv malah mengangkat penderitaan orang-orang kurang mampu sebagai tema reality show. Seakan penderitaan yang mereka alami setiap detiknya masih kurang real di luar frame kamera. 

Acara-acara tv tersebut justru mengklaim membantu meringankan beban jerat sangkutan hidup walau harus melalui skenario dramatisasi keseharian mereka dan beberapa syarat lainnya yang mesti dilalui seperti bernyanyi atau diberi uang belanja yang mesti dihabiskan dalam batas waktu tertentu. Sebuah tindakan yang mengundang curiga, jangan-jangan jumlah uang sponsor iklan dari acara tersebut justru jauh lebih banyak dari yang diterima sang penerima santunan.


Namun apa yang dilakukan para pegiat reality show tersebut masih dapat dipahami selayaknya kelakuan sekutunya; hanya memikirkan raup untung di atas segalanya. Yang berlebihan adalah jika ujung tombak perwujudan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa justru ikut terlibat dalam kekeliruan yang sama. 

Apa yang mesti dihebohkan dari anak buruh yang diterima jadi mahasiswa di sebuah kampus ternama? Bukankah, pada dasarnya, pendidikan memandang seluruh pengenyamnya setara dan sama berhak? Bukannya memang pemerintah melaksanakan amanah undang-undang serta merumuskan kebijakan dengan memastikan bahwa usaha tersebut memihak pada masa depan cerah generasi berikutnya? Jika demikian, terkutuklah institusi pendidikan yang memetakan peserta didiknya berdasarkan status sosial dan kemampuan ekonominya.


Mendorong sebuah predikat untuk mendapatkan pengakuan publik dengan mencatut status sosial seseorang, terutama profesi, adalah perbuatan tercela. Sebab ia menyiratkan celaan dari kedudukan seseorang di masyarakatnya. Seolah "Buruh Masak" yang sejatinya tidak mampu menyekolahkan anaknya ke pendidikan tinggi akhirnya, dengan kebaikan dan keutamaan dari institusi pendidikan tersebut, dapat diterima sebagai mahasiswa. 

Padahal, sesungguhnya peristiwa seperti ini sudah lazim namun masih terus diwartakan sebagai suatu anomali. Sehingga alih-alih fokus pada keberuntungannya, pembaca malah terbawa perasaan kasihan sebab latar belakang sosial sang objek warta. Sebuah perundungan yang salah pilih sasaran.


Jika anomali yang dimaksud dari peristiwa tersebut adalah kemampuan ekonomi sang Buruh Masak maka pijakan logisnya terlampau sederhana jangkauannya. Yuval Noah Harari saja mengingatkan kita dalam Homo Deus-nya bahwa masyarakat modern bertahan hidup tidak lagi atas kemahiran individualnya namun atas distribusi peran serta yang menopang kebutuhan secara terakumulasi. 

Hadirnya Buruh Masak memastikan para Pejabat mendapat waktu luang untuk tidak lagi memikirkan urusan dapur sehingga dapat berkonsentrasi menyelesaikan tugas lainnya. Petugas kebersihan memastikan kebersihan taman kota sehingga pengunjung bisa langsung menikmati keindahannya tanpa terganggu oleh sampah yang ditinggalkan oleh pengunjung tak beradab yang datang sebelumnya. Demikian kehidupan modern dalam keberagamannya berjalan. Satu profesi tidaklah lebih istimewa dari profesi lainnya.


Jika anomali yang dimaksud dari peristiwa tersebut adalah kemampuan intelektualnya, yang terlampau sering diukur dengan skor akademik maka justru bangunan logis argumennya tidak berhubungan satu sama lain. Kemampuan intelektual seseorang tidak ditentukan oleh latar belakang sosial maupun kemampuan ekonomi keluarganya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun