Mohon tunggu...
Azraul Yusuf
Azraul Yusuf Mohon Tunggu... mahasiswa

provokator

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketimpangan Proses Legislasi dalam Omnibus Law: Kajian Normatif dan Kritis melalui Teori Elite, Keadilan, Konstitusional, dan Demokrasi Delibratif

28 Juli 2025   13:15 Diperbarui: 28 Juli 2025   12:09 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang

Pemerintah Indonesia memperkenalkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang lebih dikenal dengan sebutan Omnibus Law Cipta Kerja, sebagai bagian dari strategi reformasi regulasi untuk meningkatkan kemudahan berusaha dan menciptakan lapangan kerja baru. UU ini disahkan pada 5 Oktober 2020 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan bertujuan untuk menyederhanakan berbagai aturan perundang-undangan yang selama ini dinilai tumpang tindih dan menghambat investasi serta pertumbuhan ekonomi nasional.

Melalui metode omnibus law, pemerintah menggabungkan berbagai perubahan dalam sejumlah undang-undang ke dalam satu regulasi besar. Dalam konteks ini, UU Cipta Kerja mengubah dan mencabut ketentuan dari lebih dari 70 undang-undang di berbagai sektor, seperti ketenagakerjaan, lingkungan hidup, perpajakan, dan perizinan usaha. Tujuan utamanya adalah mendorong percepatan pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, terutama dalam menghadapi tantangan ekonomi global dan dampak pandemi COVID-19 yang signifikan terhadap ekonomi nasional

Namun demikian, kehadiran Omnibus Law ini juga memicu kontroversi dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat, terutama serikat buruh, aktivis lingkungan, dan akademisi. Mereka menilai bahwa beberapa ketentuan dalam UU Cipta Kerja mereduksi perlindungan terhadap hak-hak pekerja, mengancam kelestarian lingkungan, serta memperlemah kontrol terhadap investasi asing  Proses pembentukan UU ini juga dianggap kurang transparan dan minim partisipasi publik, sehingga memunculkan kekhawatiran terhadap kualitas demokrasi prosedural di Indonesia  Oleh karena itu, penting untuk menganalisis lebih dalam latar belakang, tujuan, serta dampak dari diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja, baik dari sisi hukum, sosial, maupun ekonomi. Makalah ini akan membahas secara komprehensif dinamika di balik lahirnya regulasi ini, termasuk respon masyarakat, serta evaluasi kritis terhadap implementasinya sejauh ini.

Institusionalisme dan Neo-institusionalisme

Dari perspektif John Locke, keabsahan suatu undang-undang bergantung pada sejauh mana ia mencerminkan  consent of the governed atau persetujuan dari yang diperintah. Dalam konteks ini, proses pembentukan UU Cipta Kerja menjadi sorotan tajam karena menunjukkan indikasi kuat terputusnya keterlibatan rakyat dalam proses legislasi. Locke secara eksplisit menolak praktik kekuasaan absolut yang tidak dikontrol oleh hukum dan kehendak masyarakat. Ia menyatakan bahwa otoritas legislatif tidak boleh bertindak sewenang-wenang, karena kekuasaan tersebut diberikan secara terbatas melalui kontrak sosial. Namun dalam realitas pembentukan UU Cipta Kerja, praktik-praktik seperti fast-track legislation, minimnya uji publik yang terbuka, hingga perubahan substansi naskah yang tidak transparan, menunjukkan pelemahan prinsip rule of law yang dijunjung Locke. UU ini bahkan cenderung mencerminkan dominasi eksekutif dalam memaksakan agenda kebijakan tanpa pertimbangan deliberatif yang cukup. Ini merupakan bentuk abuse of legislative power yang menurut Locke menjadi alasan sah bagi rakyat untuk menggugat kekuasaan tersebut. Selain itu, Locke juga menekankan pentingnya perlindungan hak atas properti dan kebebasan individu. Dalam konteks ini, kebijakan yang berdampak pada sektor perburuhan seperti fleksibilitas kerja, pengurangan pesangon, dan ketidakpastian status tenaga kerja kontrak bisa dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan ekonomi. Dengan kata lain, UU ini melemahkan perlindungan terhadap hak-hak yang semestinya dijamin oleh negara melalui konstitusi dan perundang-undangan, sehingga secara filosofis bertentangan dengan fondasi pemikiran Locke tentang peran negara yang terbatas, legalistik, dan berbasis legitimasi rakyat.

Sementara Locke menyoroti legitimasi normatif, Craig Parsons melalui pendekatan neo-institusionalisme menawarkan pemahaman yang lebih struktural terhadap bagaimana UU Cipta Kerja terbentuk. Menurut Parsons, institusi bukan hanya arena tempat aktor bertindak, tetapi juga pembentuk cara berpikir, nilai, dan strategi aktor itu sendiri. Institusi politik di Indonesia telah lama dicirikan oleh relasi eksekutif-legislatif yang tidak seimbang, birokrasi yang elitis, serta proses pengambilan kebijakan yang elitis dan sentralistik. Lebih jauh, Parsons menekankan bahwa preferensi aktor tidak muncul secara spontan, melainkan terbentuk melalui norma dan struktur yang ada. Dalam kasus ini, orientasi pro-pasar dan teknokratis yang dominan dalam lembaga pemerintahan menciptakan kerangka pikir yang mengutamakan efisiensi ekonomi di atas prinsip keadilan sosial. UU Cipta Kerja menjadi representasi dari logika tersebut, yakni deregulasi sebagai jalan pintas untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, meskipun mengorbankan dimensi partisipasi dan keberlanjutan sosial. Sebagai akibatnya, kebijakan ini bukan hanya berpotensi menciptakan ketimpangan struktural yang baru, tapi juga memperkuat institusi-institusi eksklusif yang tidak responsif terhadap tuntutan akar rumput. Situasi ini mencerminkan kegagalan institusi dalam mentransformasikan preferensi publik menjadi kebijakan publik yang adil dan inklusif. Dalam kacamata Parsons, UU Cipta Kerja mencerminkan bagaimana struktur institusional membentuk bias kebijakan yang melayani elite ekonomi dan politik, bukan kepentingan rakyat secara luas.

Rawls (dalam Justice as Fairness)

Dalam teori keadilan John Rawls juga mengusung konsep primary goods dan moral powers yang merupakan fondasi normatif dalam merumuskan prinsip keadilan distributif yang adil dan rasional. Primary goods merupakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh individu, ini terlepas dari tujuan hidup mereka untuk menjalankan rencana hidup secara efektif, termasuk juga di dalamnya hak-hak dasar, kebebasan, pendapatan, kesempatan, serta rasa hormat terhadap diri sendiri . Sedangkan moral powers mengacu pada dua kapasitas utama yang dimiliki setiap warga negara, yaitu pertama adalah kapasitas untuk memiliki, mengevaluasi, dan merevisi konsepsi tentang kebaikan. Kedua adalah kapasitas untuk memiliki rasa keadilan dan bertindak sesuai dengan moral yang baik . Rawls menegaskan bahwa keadilan sosial harus memastikan terpenuhinya primary goods agar individu dapat mengembangkan kedua kapasitas moral tersebut secara penuh. Dalam konteks yang sama keadilan Rawlsian bersifat person-based atau mengutamakan pengakuan atas otonomi moral dan kapasitas reflektif individu dalam struktur masyarakat yang adil. Hubungan antara primary goods dan moral powers ini akan menjadi inti dari desain institusi demokratis yang tidak hanya menjamin hak, namun juga mengembangkan potensi etis setiap warga negara.

Jika RUU Cipta Kerja ini dianalisis lenih dalam menggunakan kerangka Justice as Fairness dari John Rawls, maka UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023 secara substansial belum mencerminkan prinsip keadilan yang inklusif. Dalam A Theory of Justice, Rawls menyatakan bahwa keadilan harus ditegakkan melalui dua prinsip utama, yaitu equal liberty principle dan difference principle. Prinsip pertama menekankan bahwa setiap individu berhak atas kebebasan dasar yang setara, sedangkan prinsip kedua membolehkan ketimpangan sosial dan ekonomi hanya jika memberikan keuntungan terbesar bagi kelompok yang paling tidak beruntung . Dalam konteks RUU Cipta Kerja, pasal-pasal yang menghapus atau mengubah perlindungan pekerja seperti penghapusan pasal mengenai upah minimum pada pasal 91 UU Ketenagakerjaan, fleksibilitas kontrak kerja pasal 59, dan juga ambiguitas soal waktu kerja pasal 77 ini bertentangan sekali dengan semangat difference principle, ini secara sederhana dapat memperlemah posisi kelompok yang paling rentan, yaitu para buruh dan pekerja tidak tetap di Indonesia.

Perspektif Elite

Peran elite politik dalam perumusan serta  pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2023 ini memperlihatkan dominasi segelintir aktor terorganisir yang secara sistematis mengendalikan proses legislasi demi mempertahankan dan juga memperluas pengaruh politik dan ekonomi mereka. Mengacu pada teori Mosca bahwa minoritas yang terorganisir, yaitu elite politik dan birokrasi eksekutif yang mengesahkan UU ini melalui pendekatan omnibus law yang sangat minim partisipasi publik dan transparansi. Hal tersebut menjadikan lembaga legislatif hanya sebagai instrumen legitimasi formal tanpa adanya kontrol yang kuat atau substantif . Pareto juga menjelaskan bahwa elite menggunakan kapasitas superior mereka, baik itu di dalam hal akses sumber daya maupun jaringan politik untuk menekankan substansi undang-undang melalui kontrol saluran formal serta informal sehingga publik tidak diikutsertakan secara bermakna.

Draf UU dibuat secara cepat oleh lembaga eksekutif yang kemudian disahkan oleh DPR yang sebagian besar pro terhadap keputusan pemerintah, tanpa membuka ruang konsultasi publik yang layak. Ketika Mahkamah Konstitusi menegur melalui putusan inkonstitusional bersyarat, justru elite merespon dengan menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2022, yang menegaskan kembali prioritas elite dalam rangka pengamanan kepentingan ekonomi korporasi besar, bukan untuk memperbaiki legislasi inklusif . Secara menyeluruh proses ini menunjukkan fenomena oligarki yang dijelaskan oleh Mosca dan Pareto, di mana kekuasaan hukum digunakan sebagai instrumen otoriter untuk menjaga kepentingan kelompok kecil saja dan bukan untuk menegakkan prinsip demokrasi deliberatif dan akuntabilitas publik.

Dominasi elite dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja secara menyeluruh mencerminkan kecenderungan negara ini berpindah dan menjauh dari prinsip demokrasi yang semakin mendekati praktik oligarki yang terstruktur. Hal ini tergambar dari minimnya transparansi dalam proses legislasi serta absennya mekanisme konsultasi publik yang baik. Seharusnya transparansi dan aspek lainnya menjadi ciri utama dalam pembuatan kebijakan publik di negara demokratis. Elite politik yang berada di lingkar kekuasaan, termasuk juga di dalamnya aktor-aktor dari partai-partai koalisi pemerintahan, justru memperkuat posisinya melalui kolaborasi erat dengan para elite ekonomi yang berkepentingan dalam sektor investasi, energi, dan pertambangan . UU Cipta Kerja dirancang untuk mengakomodasi kepentingan pemilik modal dengan memberikan kemudahan perizinan, fleksibilitas upah, serta relaksasi standar lingkungan. Semua aspek tersebut akan berdampak langsung pada hak-hak buruh dan keberlanjutan ekologis.

Demokrasi Deliberatif (Habermas)

Jrgen Habermas, dalam teori demokrasi deliberatifnya, menekankan bahwa legitimasi hukum dan kebijakan publik harus berasal dari proses diskursus rasional yang inklusif, bebas dari paksaan, dan simetris. Konsep ini menekankan pentingnya "ruang publik" (public sphere) sebagai arena di mana masyarakat sipil, melalui media dan organisasi, dapat berpartisipasi dalam pembentukan hukum. Proses ini harus memastikan partisipasi yang setara dan komunikasi yang terbuka, dengan proses yang didasarkan pada substansi  demokrasi bukan hanya sebagai prosedural semata.

Absennya deliberasi yang otentik dalam perumusan UU Cipta Kerja menjadi indikasi bahwa demokrasi Indonesia masih beroperasi dalam kerangka prosedural minimalis, belum menuju demokrasi deliberatif yang menekankan kualitas partisipasi warga. Proses legislasi ini berisiko memperdalam alienasi politik, yaitu kondisi ketika warga merasa tidak terhubung dengan sistem politik dan kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara. Sejalan dengan pandangan Ramlan Surbakti, demokrasi tidak hanya diukur dari pemilu yang berkala, tetapi juga dari keberadaan mekanisme deliberatif yang memungkinkan masyarakat menyampaikan aspirasi dan mempengaruhi kebijakan publik. Ketika kanal-kanal tersebut ditutup atau disempitkan, maka yang terjadi bukan penguatan demokrasi, melainkan kemunduran menuju otoritarianisme prosedural.

Kontroversi sekitar UU Ciptaker mencakup protes besar-besaran, dan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menunjukkan kurangnya legitimasi proses. Konsekuensi fatal dari penerapan kebijakan ini berpotensi merugikan hak konstitusional warga negara, yang selaras dengan kritik terhadap kurangnya deliberasi publik. UU Cipta Kerja dapat dipahami sebagai hasil dari konfigurasi kelembagaan yang tidak demokratis sepenuhnya. Di satu sisi, sistem presidensialisme Indonesia memberikan kekuasaan besar kepada eksekutif dalam menginisiasi kebijakan, termasuk penyusunan RUU prioritas. Di sisi lain, parlemen (DPR) cenderung menjadi rubber stamp yang menyetujui inisiatif eksekutif, bukan menjadi lembaga deliberatif yang menyuarakan keragaman kepentingan publik. Hal ini menunjukkan bahwa institusi demokrasi formal seperti pemilu dan partai politik belum sepenuhnya berhasil mentransformasikan diri menjadi kanal representasi yang efektif dalam proses legislasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun