Demonstrasi adalah bahasa rakyat. Ia adalah ruang di mana aspirasi yang tak didengar dalam kanal resmi menemukan jalannya di jalanan. Namun, ketika demonstrasi berubah menjadi penjarahan rumah anggota dewan, pembakaran gedung DPRD, dan perusakan fasilitas publik seperti halte Transjakarta di Senen, bahasa itu telah kehilangan artikulasi rasionalnya. Ia menjelma menjadi kerusuhan---sebuah bahasa yang putus, tanda bahwa komunikasi antara rakyat dan negara telah runtuh. Tragedi Affan Kurniawan menjadi pengingat betapa rakyat kecil sering kali menjadi korban langsung dari benturan ini. Affan, seorang driver ojol, meregang nyawa terlindas barracuda Brimob di tengah aksi demo. Ia bukan perusuh, ia bukan elite politik, ia hanya anak bangsa yang mencari nafkah di jalanan. Tetapi dalam pusaran konflik komunikasi yang retak, nyawanya melayang. Tragedi ini bukan sekadar kecelakaan, tetapi juga simbol bahwa dalam komunikasi politik yang buntu, yang selalu menjadi korban adalah mereka yang paling lemah. Di sisi lain, kita juga menyaksikan bagaimana elite politik memperlihatkan wajah arogan di tengah luka rakyat. Dalam sebuah narasi yang ramai dibicarakan publik, seorang anggota dewan seakan menari---joged di atas penderitaan rakyat. Gestur semacam itu bukan hanya melukai hati masyarakat, melainkan juga menegaskan betapa jauhnya jarak komunikasi antara yang mewakili dan yang diwakili. Komunikasi yang seharusnya menjadi jembatan, justru berubah menjadi jurang.
TANGGAPAN PRIBADI:
Tulisan di atas membuka mata kita bahwa demonstrasi bukan sekadar soal turun ke jalan, tapi juga tentang bagaimana komunikasi antara rakyat dan negara berjalan. Menurut saya, poin pentingnya ada pada kerusuhan sebagai tanda komunikasi yang buntu. Itu betul adanya karena ketika suara rakyat tidak didengar akhirnya jalanan jadi pilihan.
Tapi saya juga merasa miris melihat kejadian tersebut. Rakyat marah ke negara, tapi yang hancur justru fasilitas publik yang sebenarnya dipakai masyarakat sendiri. Ini nunjukin kalau kita masih kurang kesadaran kolektif: membedakan mana simbol kekuasaan, mana milik bersama.
Kasus Affan Kurniawan juga nyentuh banget. Ia bukan bagian dari kerusuhan, tapi tetap jadi korban. Ini bukti bahwa komunikasi yang gagal selalu paling menyakitkan buat rakyat kecil. Negara dan aparat seharusnya lebih berfikir lagi bagaimana caranya mengatasi itu semua dengan cara kekeluargaan bukan cuma pakai pendekatan kekerasan.
Buat saya, solusi yang ditawarkan penulis cukup masuk akal: elite politik mesti sadar ucapan dan sikap mereka itu langsung berefek ke rakyat. Kalau bahasa yang dipakai arogan, ya jangan heran kalau akhirnya rakyat meledak.