Mohon tunggu...
Bee Qolbi
Bee Qolbi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Universitas Negeri Malang dan santri PPTQ Nurul Furqon

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dongeng Tentang Keindahan Indonesia

28 Februari 2017   23:37 Diperbarui: 1 Maret 2017   00:31 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dimasa depan, aku takut kehilangan identitas diriku sebagai warga Negara Indonesia. aku takut, jika beberapa puluh tahun mendatang, aku enggan menjadi WNI, enggan tinggal di negeri berjuta pulau ini. Aku takut, jika nanti aku memiliki seorang anak, dia tak bisa melihat keindahan negeri ini, padahal sekarang aku begitu takjub pada indahnya Indonesia. Aku takut jika ketakjuban itu akan hilang seiring dengan berjalannya waktu, dan Indonesia hanya tinggal nama.

Aku begitu bangga hidup di negeri bertanah surga. Tanaman tumbuh dengan suburnya, sawah terbentang sejauh mata memandang. Hutan bertebaran seantero negeri ini. Udara yang sejuk, pancaran matahari yang hangat, dan penduduk yang hidup damai. Tapi, itu dulu. Cerita yang aku dapat dari nenekku. Sekarang, aku hanya mendapati sebagian dari keindahannya.

Negeri bertanah surga seperti hanya dongeng klasik. Sawah yang terus berkurang, dan hanya bisa didapati di pedesaan. Di sebagian kecil pedesaan lebih tepatnya. Manusia mulai berpemikiran kapitalis. Mereka berlomba menjual tanahnya untuk didirikan gedung, swalayan, perumahan. Mereka beralih profesi dari petani menjadi buruh pabrik. Sejatinya, mereka tak pernah memahami bahwa menjadi petani lebih menentramkan meskipun hanya sedikit upah yang diperoleh. Menjadi bawahan, meskipun kelihatannya berseragam dan bersepatu, tidak menjamin kehidupan yang mapan. Tak ada tanah dan keterampilan bertani yang akan diwariskan kepada anak cucunya kelak.

Aku takut, jika sawah dan tanah mereka terus menerus dirampas oleh para pengusaha yang mengatas namakan ‘kesejahteraan rakyat’, tak akan ada lagi orang yang bersedia menanam padi. Bukan tidak mungkin beras plastik akan menjadi makanan sehari-hari. Pemikiran kapitalis yang lebih mengutamakan materi (uang) inilah yang aku takutkan akan membawa bencana pada diriku dan generasi setelahku.

Udara sejuk dan hangatnya mentai seakan hanya menjadi mimpi bagiku kini. Jangankan di kota, di desaku yang terpencil sekali pun telah berdiri pabrik rokok yang mencemari lingkungan. Lagi-lagi, warga sekitar dikibuli oleh pengusaha dengan iming-iming ‘Kesejahteraan jika pabrik itu didirkan’. Barulah setelah bertahun-tahun, rakyat menyadari bahwa pabrik di sekitar rumah mereka membawa penyakit. Setiap hari menghirup bau tembakau, mengonsumsi air yang tercampur limbah, dan masih harus bertahan dengan kebisingan mesin pabrik yang mengganggu istirahat mereka.

Penduduk yang hidup damai, nyatanya hanya sebuah ilustrasi dari sebuah lukisan yang dilukiskan oleh para pendiri bangsa ini. Hampir setiap hari media menayangkan pembunuhan, kekerasan pada anak, terorisme, demo, penggusuran, maupun penculikan dan pemerkosaan. Semua itu seperti menjadi tontonan wajib dan tidak menuntut kemungkinan menjadi tuntunan yang akan melahirkan bibit-bibit baru penjahat di negeri yang berketuhanan ini.

Ini adalah realita yang aku jumpai di Indonesiaku. Tahun 2016. Realita yang menggelitik anak-anak muda mendidirkan gerakan pecinta lingkungan, organisasi perlindungan anak, ataupun berjuang dengan pena dan media sosial mereka, menuntut kembalinya Indonesia yang mereka tinggali seperti dulu. Indonesia, negara agraris berbaju pancasila.

Anak-anak muda itu ingin segera menjadi pembesar negeri ini, merubah negeri ini, mengubah pola pikir para kapitalis, dan menumbuhkan rasa cinta tanah air pada saudara-saudara mereka. Meskipun mereka tahu peluang yang mereka miliki hanya nol sekian persen. Ada MEA di depan mata, yang sudah tentu akan membawa perubahan negeri ini, secara perlahan.

Bersedia membayangkan atau tidak, kenyataan dimasa depan, negeri ini akan lebih mengerikan dari detik ini. Ketakutanku akan hal yang dulu mustahil dibayangkan oleh nenek moyangku sudah tentu akan menjadi kenyataan. Jika nanti Indonesiaku bukan lagi Indonesia yang aku kenal, maka akan ku ceritakan sisa keindahan yang masih bisa ku nikmati sekarang pada anak-anakku, yang mungkin tak akan menikmati keindahan ini. Tentu, akan ku ceritakan pada mereka, meski aku harus mengakhiri ceritaku dengan kalimat “Tapi, itu dulu saat ibu berusia 18 tahun. Kini, keindahan itu hanya menjadi dongeng bagi generasi baru sepertimu.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun