Penulis : Nur Azhar Siddik
Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Ibn Khaldun
Coba deh tanya ke diri sendiri, sebenarnya kita sekolah buat apa, sih? Buat belajar dan berkembang? Atau hanya ngejar selembar ijazah biar bisa daftar kerja? Sekarang ini, makin banyak orang yang anggap sekolah sebagai kewajiban, bukan kebutuhan. "Yang penting lulus," katanya. Bahkan, ada juga yang mikir, sekolah itu cuma buat gengsi sosial semata. Padahal, sekolah mestinya jadi tempat buat tumbuh, bukan sekadar numpang nama di ijazah.
Esensi pendidikan itu lebih dari sekadar nilai atau gelar. Ini soal proses jadi pribadi yang punya pikiran terbuka, bisa adaptasi, dan punya nilai hidup yang kuat. Tapi sayangnya, semangat itu sering tenggelam di antara tumpukan PR, ujian, dan aturan yang kaku. Jadi, nggak heran kalau banyak yang akhirnya kehilangan motivasi belajar, atau malah merasa sekolah nggak ngaruh apa-apa ke hidup mereka.
Realitanya, sistem pendidikan kita masih terlalu fokus ke hal-hal administratif: nilai, akreditasi, dan ijazah. Anak-anak diajarkan buat hafal, bukan paham. Yang penting bisa jawab soal, bukan ngerti konsepnya. Sekolah dan kampus juga sering kali lebih peduli sama citra lembaga daripada menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan.
Akibatnya? Kita punya lulusan yang mungkin pintar secara akademik, tapi bingung waktu masuk ke dunia kerja. Banyak yang akhirnya kerja di bidang yang nggak sesuai jurusannya, atau malah menganggur karena kurang skill praktis. Data BPS 2024 mencatat: 842 ribu lebih lulusan sarjana belum mendapatkan pekerjaan. Sementara itu, lulusan diploma yang menganggur "hanya" sekitar 170 ribu. Â Di Indonesia, fenomena ini juga makin terasa.
Lebih dari itu, pendidikan kita juga belum cukup memperhatikan sisi emosional dan sosial siswa. Jarang banget ada ruang buat ngobrol soal mimpi, soal stres, atau sekadar didengar. Kelas terasa kaku, penuh aturan, minim dialog. Anak-anak yang kreatif sering kali justru dianggap nyeleneh karena nggak sesuai standar.
Kalau pendidikan hanya jadi rutinitas tanpa makna, kita bukan hanya rugi secara pribadi, tapi juga secara sosial. Bayangkan kalau satu generasi besar tumbuh dengan mental "asal lulus". Kita akan mempunyai orang-orang yang tidak tahu bagaimana cara mengelola emosi, berkomunikasi, atau berkolaborasi. Padahal, kemampuan seperti itu justru yang paling dibutuhin di dunia nyata.
Guru juga tidak kalah tertekan. Banyak guru yang ingin mengajar dengan cara seru dan relevan, tapi keburu capek ngurusin laporan, target nilai, dan tumpukan administrasi. Padahal, seharusnya guru dan murid bisa jadi partner belajar yang saling menginspirasi, bukan hanya sekadar hubungan formal "yang satu nyuruh, yang satu nurut".
Kalau kondisi ini terus dibiarkan, bisa-bisa kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan makin turun. Sekolah dianggap cuma formalitas. Siswa datang karena disuruh, bukan karena ingin belajar. Dan pada akhirnya, yang lahir dari sistem seperti ini adalah generasi yang bingung harus jadi apa dan gimana caranya hidup bermakna.
Nah, sekarang kita coba lihat dari sudut pandang PR. Dunia PR itu intinya soal membangun komunikasi yang jujur, terbuka, dan bikin orang merasa dilibatkan. Harusnya, sekolah juga seperti itu. Bukan cuma tempat belajar teori, tapi ruang yang terbuka buat tumbuh, ngobrol, salah, dan bangkit lagi.
Sekolah bisa mulai dari hal kecil: