"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana..."
Begitu pembuka puisi legendaris Sapardi Djoko Damono yang hampir pasti dikenali siapa pun yang pernah bersentuhan dengan sastra Indonesia. Sebuah puisi yang pendek dan tampaknya begitu lembut dalam mengutarakan cinta. Â Namun di balik keindahan itu, saya jadi merasa perlu menggugatnya. Bukan karena puisinya buruk, jelas tidak. Tapi karena ia terlalu indah, terlalu mulus, terlalu.... sederhana. Dan cinta, sebagaimana pengalaman banyak orang tahu, tidak pernah sesederhana itu, dan mungkin tak akan pernah.
Saya pernah bertanya-tanya bahwa mungkin saja cinta itu memang sederhana, hanya saja saya memang belum menemukan manusia yang bisa menyederhanakan cinta itu sendiri. Barangkali saya belum sampai di sana karena tersesat di cinta yang penuh ketakutan. Dan bisa saja, suatu hari nanti saya bisa mencintai seperti daun mencintai angin tanpa ingin menangkapnya.
Saya dan banyak orang lain mungkin pernah mencoba mencintai dengan sederhana. Tapi bagaimana bisa kita mencintai tanpa ekspektasi? tanpa takut kehilangan? tanpa keinginan untuk dilihat, dihargai, disayang balik? Saya kira tidak. Atau kalaupun iya, hanya dalam puisi.
Karena seringkali kita lebih sering mencintai dengan cemas dan tanya. Mencintai dengan takut akan perpisahan. Mencintai sambil memikirkan bagaimana kelak membagi waktu antara pekerjaan dan anak. Mencintai sambil berharap orang tua menyetujui pilihan kita, dan semua itu adalah bagian sah dari cinta.
Saya setuju dengan ungkapan Joko Pinurbo "Mencintai dengan sederhana itu justru mecintai yang paling tidak sederhana, paling sulit, susah orang mencintai apa adanya. Sesuatu yang ditulis Sapardi adalah sesuatu yang mustahil".
Puisi Sapardi seolah menawarkan konsep cinta nyaris suci, tak menuntut, tak tersentuh ego, dan tak terkotori oleh realitas sehari-hari. Ia tidak membicarakan konflik, tidak menyinggung rasa cemburu, kompromi, atau luka yang kadang datang justru dari orang yang kita cintai. Mencintai "dengan sederhana", "dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api", atau "dengan isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan." Semua metafora itu menggambarkan cinta yang senyap, diam-diam, dan tidak menuntut balas. Tapi benarkah cinta bisa sesenyap itu tanpa menyisakan komplikasi?
Puisi "Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono menjadi semacam oase di tengah hiruk-pikuk dunia. Puisi itu seperti menyalakan lilin kecil di ruangan gelap, tak terang-terang amat tapi cukup untuk membuat kita merasa aman. Tapi masalahnya adalah dunia nyata terlalu terang dan terlalu bising untuk cinta yang hanya berbisik.
Maka ketika Sapardi menulis bahwa dia ingin mencintai dengan "kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api", saya tidak bisa tidak tersenyum getir. Karena kenyataannya, kadang kita perlu bicara. Kadang kita harus menulis paragraf panjang di WhatsApp karena satu emoji tidak cukup menjelaskan rasa kecewa.
Tapi barangkali Sapardi memang sedang berdoa. Meski begitu, saya juga paham satu hal lain: mungkin Sapardi bukan sedang mendeskripsikan cinta seperti apa adanya, tapi seperti yang ia harapkan. Puisi itu adalah doa seorang lelaki yang sudah terlalu letih dengan segala kerumitan cinta. Ia tidak sedang mengajarkan kita bagaimana cara mencintai, tapi sedang membisikkan kerinduan atas cinta yang tak membebani, tak menuntut, tak menghukum.