Mohon tunggu...
Ayu Sri Darmastuti
Ayu Sri Darmastuti Mohon Tunggu... Asisten desain grafis -

membaca, opini, tersesat, rimba-belantara, malam, kopi, musik lawas, Indonesia, anak-anak, imajinasi, oil pastel, tumbuhan, biologi... dan senyuman :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kain Merah Putih

27 April 2016   04:16 Diperbarui: 27 April 2016   04:47 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Matanya nyaris keluar memelototi gadis yang ada di hadapannya. Tingginya bahkan tak lebih dari bahunya. Andai niatnya seperti yang diteriakan pada Ella, gadis kecil itu tak akan kuat melawan. Tapi tak selangkahpun gadis itu mundur. Wajah mereka sekarang berjarak sejengkal.

“….tidak akan. Sebab kamu tak punya nyali!!” Ella memandang Gilang dengan tajam. Bola mata yang jernih dan berkaca-kaca di sudut mata yang coba disembunyikannya menampakkan keteguhan hati.

“…karena kalau kamu punya nyali, pertahankan kain keramat itu.” Gadis itu melangkah pergi, meninggalkan Gilang dalam penyesalan dan kebimbangan. Dia tahu alasan Ella. Baginya bendera yang membisu di gudang memang keramat. Sejarahnya tak hanya satu-dua tahun, tak hanya satu-dua angkatan, dan tak hanya satu-dua orang yang membela keberadaannya untuk tetap ada di sini.

Ella pernah terluka hebat karena bendera itu, satu keluarga besar terluka berat. Tersayat di bagian paling sensitif. Bagaimana bendera itu menelan korban jiwa. Belahan hati Ella, saudara kembarnya. Maka ia tahu bagaimana segala hal tentang bendera ini akan lebih menyakitkan bagi Ella daripada dirinya sebagai pemimpin. Ia hanya bertanggung jawab, beban yang akan dia bawa terus sebagai sebuah sejarah yang menghiasi atau mengotori nama baiknya.

Gilang merogoh saku flannelnya, mencoba mencari-cari diantara korek, handphone, dan puntung rokok yang masih bersisa. Dia mengeluarkan sebuah kunci tua. Seperti sebuah kunci kuno dimana kita bisa membayangkan dia adalah jalan untuk membuka pintu raksasa. Tua, terbuat dari kayu jati, besar, dan berat.

Dia mengangkat kunci itu setinggi pandangan. Melalui lubang pangkal kunci, Gilang memicingkan mata, menembus lubang hingga terlihat jalan setapak di depannya. Ia masih berdiri di tempat. Ella telah meninggalkannya, kali ini benar-benar dalam kesunyian malam. Ia menyandarkan pundak pada tiang lampu jalan dan perlahan berjongkok.

Jalan setapak di depannya terasa masih berkilo-kilometer dari tujuan, tempat kunci ini bersarang. Kabut pukul tiga pagi memang mencekat. Seluruh bulunya berdiri, kulitnya tertusuk dingin, dan rambutnya yang panjang berhias bulir air. Tapi kebimbangannya membuat tubuhnya mematung, terjongkok, diam, penat, dan hening. Hanya Tuhan yang tahu bahwa dia tak punya pilihan lain. Ini adalah bentuk tanggungjawab warisan yang tak dapat dihindari.

“Besok aku akan menyerahkanmu…” seolah dia berbicara pada bayangan sendiri, “…mau tak mau. Maaf, jangan menyalahkanku. Bukannya aku melupakan pengorbananmu teman, ini juga bentuk lain pengorbanan.”

Bentuk pengungkapan keluh kesah laki-laki. Berbicara pada kesunyian. Dia tak butuh dimengerti dia hanya butuh dipatuhi. Tetap, jalan setapak menuju gudang masih terlalu jauh dan kepalanya masih terlalu berat.

***

Pagi cerah yang sempurna. Jarum bergerak dari angka tiga, perlahan ke bawah seiring langkah matahari muncul dan meninggi dari ufuk timur. Pagi benar-benar datang. Hari penyerahan benar-benar datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun