Mohon tunggu...
Ayu SabrinaBarokah
Ayu SabrinaBarokah Mohon Tunggu... Jurnalis - Citizen Journalist

Perempuan yang mencoba berdaya melalui karya tulis digital, dengan keyakinan Learning by doing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengkaji Mental Hidup Miskin yang Berpotensi Melanggengkan Kemiskinan

19 Juni 2020   19:55 Diperbarui: 19 Juni 2020   19:48 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia, sebuah negara dengan beragam keunikan dan polemik politik yang tidak ada habisnya. Indonesia adalah rumah bagi 269 juta orang lebih di dalamnya merupakan jumlah keempat terbesar di dunia , tidak peduli suku, agama, dan pekerjaannya. Berbicara terkait pekerjaan, hal tersebut masih menjadi momok pembicaraan hangat di setiap acara bangsa ataupun statement calon wakil rakyat. Pekerjaan pun, menjadi hal yang menjamin seseorang miskin atau kaya. Hal ini bukan hanya berasal dari kontruksi sosial, tetapi juga dari pengakuan negara sendiri (Indonesia) bahkan negara di dunia.

 Kemiskinan merupakan salah satu masalah global yang dihadapi oleh banyak negara di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memperoleh kebutuhan dasar, kemiskinan di negeri ini berdampak pada sejumlah masalah sosial lain, seperti pengangguran, kekurangan gizi, hingga meningkatnya tindak kriminal.

Permasalahan tersebut  pun masih belum mendapatkan  jawaban untuk langkah yang konkrit, kita justru saling melempar bola. Pemerintah dengan keagungannya mengaku bahwa telah berusaha membuka lapangan pekerjaan selebar-lebarnya, begitu pun dengan masyarakat yang dicap 'miskin' mengaku belum merasakan hal yang telah disampaikan  oleh pemerintah. Maraknya pemulung, pencopet, hingga pengemis cukup membuktikan bahwa negara Indonesia masih belum bersih dari tatanan garis kemiskinan masyarakatanya.

Kegagalan mengatasi persoalan kemiskinan akan dapat menyebabkan munculnya berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik di tengah-tengah masyarakat. Upaya serius pemerintah untuk mengatasi kemiskinan sudah dilakukan sejak era Orde Baru. Hasilnya, selama periode 1976-1996 (Repelita II -- V), tingkat kemiskinan di Indonesia menurun secara drastis, dari 40% di awal Repelita II menjadi "hanya" 11% pada awal Repelita V (Mubyarto,2003).

Catatan gemilang tersebut tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan bangsa Indonesia dalam melaksanakan berbagai program pembangunan ekonomi. Selama tiga dekade pembangunan tersebut, ekonomi Indonesia rata-rata tumbuh di atas 7% tiap tahunnya.

Keberhasilan Indonesia dalam melakukan pembangunan ekonomi dan mengurangi angka kemiskinan ini kemudian mendapat banyak pujian dari masyarakat dunia. Laporan World Bank (1993) yang bertajuk : "The East Asian Miracle", misalnya, menempatkan Indonesia menjadi salah satu macan Asia dalam daftar "The High Performing Asian Economics (HPAEs)" sejajar dengan Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Malaysia, dan Singapura.

 Sayangnya, tidak lama setelah World Bank mempublikasikan laporannya, krisis ekonomi kemudian melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1977. Krisis ini pada awalnya hanya merupakan persoalan nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang dollar Amerika Serikat atau krisis moneter (krismon)  saja karena dipicu oleh kejatuhan mata uang Thailand, Bath. Tanpa diduga, krismon yang sulit dikendalikan oleh pemerintah kemudian memicu munculnya krisis politik yang ditandai dnegan kejatuhan rezim Orde Baru.

Seperti bola salju, krisis ini kemudian membesar dan menjadi pencetus munculnya krisis-krisis yang lain. Singkat kata, krismon kemudian berubah menjadi krisis total (kristal) yang mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Hantaman badai krisis tersebut kemudian menyebabkan Indonesia benar-benar jatuh dalam titik nadir, dari negara yang memiliki prestasi pembangunan yang penuh keajaiban menjadi negara yang membutuhkan keajaiban untuk dapat keluar dari krisis.

 Krisis di segala aspek kehidupan tersebut menyebabkan Indonesia sulit keluar dari zona krisis. Jika negara-negara Asia Tenggara lainnya, misalnya Malaysia, Thailand, dan Singapura, telah berhasil memulihkan momentum pembangunan ekonomi mereka seperti kondisi sebelum krisis. Sampai saat ini, Indonesia masih belum mampu keluar dari kukungan krisis.

Sebagai akibatnya, berbagai program anti kemiskinan yang selama ini diprakarsai oleh pemerintah Orde Baru menjadi tidak terurus dengan baik. Dampak yang ditimbulkan dari kondisi yang demikian adalah meroketnya kembali angka kemiskinan di Indonesia. Sebagai ilustrasi, jika pada tahun 1996 (sebelum krisis) jumlah penduduk miskin di Indonesia dapat ditekan 11% setelah krisis melanda, angka tersebut menggelembung kembali menjadi 24% atau sekitar 39,4%

 Sebagaimana sudah disebutkan di awal tulisan ini, masalah kemiskinan bukanlah hal yang baru di Indonesia. Meskipun demikian, masalah kemiskinan selalu aktual untuk dibahas. Sebab, meskipun telah berjuang puluhan tahun untuk membebaskan diri dari kemiskinan, kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia belum bisa melepaskan diri dari belenggu kemiskinan ini.

Aktualitas untuk mendiskusikan masalah kemiskinan ini juga mendapatkan momentumnya pada tanggal 3 -- 5 Agustus 2005 lalu, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan regional tingkat menteri untuk membicarakan masalah "Tujuan Pembangunan Abad Milenium" atau Millenium Development Goals (MDGs). MDG's yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada akhir tahun 1999 memiliki delapan tujuan pokok, namun demikian inti dari tujuan pembangunan abad milenium tersebut adalah untuk memerangi kemiskinan dengan meningkatkan derajat hidup orang miskin, misalnya: meingkatkan pelayanan pendidikan dasar, meningkatkan kesetaraan gender, mengurangi kematian anak, memperbaiki kesehatan ibu dan lain-lain.

 Selain itu, adapun Sustainable Development Goals  (SDG's) merupakan lanjutan dari program Millenium Development Goals (MDS's) yang selesai pada 2015. Dengan diluncurkannya SDG's, diharapkan dapat meneruskan keberhasilan 8 program MDG's dalam menangani masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup di dunia. SDG's memiliki 17 tujuan dan 169 capaian yang diagendakan dalam periode 2015 hingga 2030.

 Tujuh belas tujuan SDG's tersebut adalah tanpa kemiskinan; tanpa kelaparan; hidup sehat dan kesejahteraan; kualitas pendidikan; kesetaraan gender; air bersih dan sanitasi layak; pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi; industri, inovasi, dan infrastruktur; berkurangnya kesenjangan; kota dan pemukiman yang berkelanjutan; konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; penanganan perubahan iklim; ekosistem laut; ekosistem darat; perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh; dan kemitraan untuk mencapai tujuan.

 Memang menarik jika melihat tujuan SDG's yang sangat luar biasa tersebut. perlu dukungan dari seluruh elemen masyarakat dunia baik di tingkat pemerintahan hingga masyarakat bawah. Kampanye dan sosialisasi mengenai SDG's harus semakin digencarkan. Semua harus yakin bahwa semangat perubahan itu nyata dan memang benar adanya.

 Salah satu tujuan yang masih menjadi masalah hampir seluruh negara di dunia yaitu mengentaskan kemiskinan, tujuan SDG's urutan pertama. Kemiskinan masih dan akan selalu dipandang sebagai masalah yang serius bagi negara-negara di dunia, khususnya negara berkembang. Kemiskinan tidak hanya merujuk pada dimensi ekonomi saja. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Sebagai contoh di negara Ghana, seorang laki-laki dikatakan miskin apabila ia tidak memiliki aset material. Sedangkan untuk perempuan, kemiskinan yaitu suatu kondisi jika terjadi kerawanan pangan. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memandang kemiskinan bukan dari sisi finasial, pelanggaran martabat manusia, dan kurangnya kapasitas untuk berpartisipasi secara efektif di lingkungan sosial.

 Kemiskinan di Indonesia masih menjadi masalah yang serius. Seperti dijelaskan sebelumnya, kemiskinan sudah menjadi masalah yang serius sejak era pasca-kemerdekaan hingga saat ini. Pengukuran kemiskinan di Indonesia dilakukan oleh Badan Pusat Statistika (BPS) dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Menurut BPS kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan dengan pendekatan pengeluaran. Penduduk dikatakan miskin apabila memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

 Sejalan dengan tujuan SDG's , BPS memiliki peran dalam menyediakan data-data yang selanjutnya digunakan oelh pemerintah dalam menjalankan program pembangunan berkelanjutan. Terkait tujuan SDG's yang pertama. BPS telah menyediakan data terkait kemiskinan. Data tersebut diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan dua kali dalam satu tahun. Berdasarkan data yang diperoleh, kemiskinan di Indonesia secara statistik mengalami penurunan. Pada semester pertama 2015 tercatat persentase kemiskinan di Indonesia yaitu 11,22 persen. Angka tersebut turun 0,09 poin di semester kedua, dengan persentase kemiskinan 11,13 persen.

 Pada 2016 persentase kemiskinan di Indonesia kembali mengalami penurunan. Pada semester pertama 2016, persentase kemiskinan di Indonesia sebesar 10,86persen dan semester kedua sebesar 10,70 persen. Hingga pada semester pertama 2018 tercatat angka kemiskinan di Indonesia sebesar 9,82 persen.

 Berdasarkan angka yang dirilis BPS, perlu ditekankan bahwa wilayahn perdesaan masih mendominasi tingginya persentase kemiskinan. Pada periode terakhir (semester 1 -- 2018), persentase kemiskinan di perdesaan sebesar 13,20 persen, sedangkan di perkotaan sebesar 7,02 persen. Dari data tersebut terlihat masih terdapat ketimpangan dalam segi sosial, ekonomi, hingga infrastruktur dan teknologi yang berimbas pada tingginya angka kemiskinan di perdesaan.

 Program-program pembangunan khususnya di perdesaan perlu ditingkatkan dan diawasi secara berkelanjutan untuk mengurangi ruang ketimpangan. Pemerintah bukannya tinggal diam. Program dana desa yang diluncurkan diharapkan mampu mengurangi ketimpangan kesejahteraan di wilayah desa dan kota. Efektif atau tidaknya menjadi tanggung jawab pemerintah desa dalam pengelolaan dana desa. Pemerintah setingkat di atasnya juga berperan dalam pengawasan penggunaan dana desa tersebut. Sudah banyak contoh wilayah perdesaan yang berhasil dalam penerapan dana desa. Mulai dari Desa Ponggok dengan wisata tirtanya di Klaten, hingga program BUMDesMart di Desa Sidorejo, Kabupaten Musi Banyuasin yang beromset ratusan juta rupiah setiap bulannya.

 Keberhasilan pengelolaan dana desa secara tidak langsung memberikan dampak terhadap perekonomian masyarakat di wilayahnya. Kesempatan kerja menjadi terbuka dengan adanya peluang modal usaha maupun kebutuhan akan tenaga kerja dalam melaksanakan pembangunan desa. Setelah itu terpenuhi, bukan tidak mungkin kemiskinan dan ketimpangan di wilayah perdesaan akan semakin surut. Masyarakat secara tidak langsung juga turut membantu pemerintah dalam menyukseskan tujuan SDG's di Indonesia, dan  bersama-sama masyarakat dunia menuju kehidupan dunia yang lebih baik dan sejahtera.

 Jauh dari pemaparan tersebut, lalu timbul pertanyaan bahwa kemiskinan ini sebenarnya apa penyebabnya, apakah kebijakan pemerintah yang kurang tepat ataukah budaya dari masyarakat yang malas ? orang miskin di Indonesia pada umumnya adalah mereka yang jatuh miskin karena sesuatu hal menimpa pekerjaan atau bisnisnya, adapun yang memang sudah sejak lahir bersama dengan keluarga yang miskin.

 Penelitian terbaru lembaga riset SMERU Institute menunjukkan bahwa anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung berpenghasilan lebih rendah ketika mereka dewasa. Penelitian yang telah dipublikasikan di makalah internasional Asian Development Bank (ADB) menunjukkan pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87 persen lebih rendah dibanding mereka yang sejak anak-anak tidak tinggal di keluarga miskin.

Menggunakan data yang diambil dari kehidupan rumah tangga di Indonesia atau yang disebut dengan Indonesian Family Life Survey (IFLS) , tim peneliti SMERU Institute yang dipimpin oleh Mayang Rizky, Daniel Suryadarma, Asep Suryahadi mengolah data dari 1.522 anak dan membandingkan pendapatan mereka pada tahun 2000 ketika mereka berusaha 8-17 tahun dengan pendapatan mereka pada 2014 ketika mereka menginjak usia 22-31 tahun.

 Ini artinya, mereka yang teralhir dari keluarga miskin memang berpotensi untuk menjadi tetap miskin dari segi materi. Ini adalah alasan ilmiah anak keluarga miskin di Indonesia cenderung tetap miskin ketika dewasa. Ada persoalan akses terhadap pendidikan, budaya lingkungan, serta piranti teknologi yang membuat lingkaran kemiskinan menjerat mereka. Kita bisa lihat bahwa disini privilege itu nyata.

 Menariknya, ketika riset ini dirilis ke publik, beberapa pihak menyangsikan hasil penelitian tersebut. beberapa menampik hasil riset ini dan memilih percaya bahwa anak yang miskin bisa saja terlepas dari jerat kemiskinan ketika mereka bekerja keras. Penelitian tersebut memang bersifat kuantitatif dan tidak menjawab mengapa anak yang tumbuh dari keluarga miskin akn cenderung tetap miskin ketika mereka dewasa.

 Namun, penelitian itu menunjukkan bahwa keluar dari jerat kemiskinan tidak semudah yang banyak orang kira karena kemiskinan yang terjadi pada anak-anak berkaitan dengan kondisi kemiskinan keluarganya. Kemiskinan keluarga akan membatasi akses anak-anak mereka terhadap berbagai kesempatan, misalnya untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang sebenarnya diperlukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka.

Sebelumnya, pada 2015 SMERU melakukan penelitian kualitatif tentang hal yang sama. Dilakukan di dua kelurahan yang berbeda di Jakarta; Makassar; Sulawesi Selatan; dan Surakarta, Jawa Tengah. Riset ini melibatkan setidaknya 250 anak laki-laki dan perempuan dari keluarga miskin yang berusia 6-17 tahun di ketiga kota tersebut. Dalam penelitian ini, mereka mengamati perspektif subjektif anak-anak tentang kemiskinan. Mereka mewawancarai anak-anak tersebut tentang kondisi hidup mereka dan menemukan bahwa perbedaan kondisi kesejahteraan orang tua menentukan nasib anak-anaknya.

Penelitian tersebut menemukan bahwa anak-anak rupanya sangat mampu menjelaskan kompleksitas kemiskinan yang menjeratnya. Mereka menyadari adanya perbedaan status sosial-ekonomi di lingkungannya melalui hal-hal yang tampak seperti kondisi tempat tinggal, cara berpakaian, serta kepemilikan alat komunikasi dan kendaraan. Seorang anak bisa mengatakan mereka miskin ketika mereka tinggal di rumah yang kecil, tidak punya banyak kamar, lingkungan yang padat dan relatif kumuh seperti banyak sampah. Mereka bisa mendeskripsikan teman -- teman yang tidak miskin dengan sebagai anak -- anak yang memiliki telepon seluler dan kendaraan bermotor.

 Dari wawancara yang dilakukan tim  SMERU kepada anak -- anak yang menceritakan kondisi hidup mereka, penulis menyimpulkan bahwa perbedaan kondisi kesejahteraan orang tua menentukan nasib anak-anaknya. Dengan kata lain, perbedaan kesejahteraan orang tua menyebabkan kondisi ekonomi anak-anak mereka tidak berada pada garis awal yang sejajar.

 Anak yang orang tuanya memiliki aset atau sumber daya makan akan memberikan peluang bagi anaknya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan atau kesuksesan pada masa depan. Mislanya, anka -- anak yang lahir dari dari keluarga kaya memiliki peluang jauh lebih besar untuk memperoleh pendidikan non formal, baik yang sifatnya mendukung capaian pendidikan / akademik yang tidak seimbang ini menjelaskan mengapa anak miskin sulit keluar dari jerat kemiskinan.

 Contoh lain, anak -- anak tidak miskin yang dibekali telepon seluler dan kendaraan bermotor dianggap memiliki peluang lebih besar untuk melakukan mobilitas, mendapat pengalaman baru, termasuk berjejaring dengan orang -- orang baru yang akan memberikan peluang ekonomi yang lebih besar. Belum lagi perbedaan pola asuh di masyarakat miskin yang cenderung otoriter dan reaktif yang berisiko melanggengkan budaya miskin.

 Anak -- anak dari keluarga miskin dalam penelitian tersebut  mengaku bahwa orang tua mereka cenderung mudah marah dan memberi hukuman saat tahu anaknya mengahadapi masalah ketimbang memiliki kesempatan untuk bercerita mengapa masalah itu bisa terjadi dan mendapat jalan keluarnya. Sebagai contoh, seorang anak mengaku lebih sering menerima pukulan saat orang tuanya tahu bahwa dirinya berkelahi di sekolah. Padahal, perkelahian tersebut karena sang anak menerima perundungan dari teman -- teman sebayanya. Tanpa kemampuan mendengar dan mencarikan jalan keluarnya, perilaku orang tua seperti itu hanya akan membuat sang anak semakin frustasi menjalani pendidikan, padahal pendidikan adalah solusi bagi kemiskinan.

 Pola pengasuhan tentu sangat berkaitan dan memengaruhi dengan tingkat pendidikan orang tua. Kita tahu, bahwa sekitar 63 persen penduduk miskin di Indonesia hanya memperoleh pendidikan setara sekolah dasar atau tidak bersekolah sama sekali. Dalam penelitian tahun 2019, tim peneliti menyimpulkan bagaimana anak miskin akan tetap miskin ketika dewasa setelah menguji tujuh faktor yang mungkin berpengaruh pada peningkatan penghasilan mereka dan menemukan bahwa kondisi anak -- anak tersebut tidak berubah setelah 14 tahun.

 Ketujuh hal yang dibandingkan adalah status kemiskinan hasil tes kognitif, hasil tes matematika, lama bersekolah, kapasitas paru -- paru (untuk menggambarkan kondisi kesehatan), koneksi pekerjaan melalui kerabat, dan hasil tes kecenderungan depresi. Sebagai ilustrasi, salah satu yang diuji adalah hasil tes matematika. Rupanya, walaupun ada kesamaan nilai matematika yang diperoleh antara anak -- anak yang miskin dengan yang tidak, namun ketika mereka beranjak dewasa, pendapatan si anak miskin tetap jauh dari pendapatan si anak tidak miskin saat dewasa. Artinya, pendidikan (yang digambarkan melalui hasil tes matematika) tidak berdampak signifikan pada penghasilan anak -- anak miskin pada masa depan dibandingkan anak -- anak kaya.

 Lewat penelitian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa hal ini bisa terjadi karena anak -- anak tidak miskin memiliki modal yang tidak seimbang dari keluarganya. Hal ini yang mengakibatkna mereka tidak berada pada garis awal yang sejajar dalam memperoleh kesempatan ekonomi. Lalu, bagaimana dengan berbagai intervensi pemerintah, seperti Program Keluarga Harapan atau Kebijakan Kota dan Kabupaten Layak Anak (KLA) yang diciptakan untuk menjamin terpenuhinya hak anak untuk hidup secara layak, tanpa kekerasan dan diskriminasi? Pemerintah perlu melakukan penelitian yang berkualitas baik untuk dapat mengevaluasi efektivitasnya dan memastikan bahwa program mereka dapat meningkatkan kesejahteraan anak -- anak miskin.

 Sebenarnya sangat banyak penyebab kemiskinan, selain dari faktor kultur adapun seperti kualitas sumber daya manusia, ketersediaan lowongan kerja, kondisi geografis, dan lain sebagainya. kemiskinan juga tidak sekedar berindikator pada aspek ekonomi, tetapi juga kesehatan, tempat tinggal, bahkan rasa aman. penduduk miskin tidak dapat memenuhi standard kecukupan kebutuhan hidup. entah itu finansial, fisik, maupun non-fisik.

 Didorong dengan seiring perkembangan zaman, dimana teknologi hampir ada di segala bidang kebutuhan, dan teknologi bisa dianggap menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan manusia. teknologi mencapai titik dimana manusia memanfaatkannya bukan karena kemudahan tetapi karena kebutuhan. hal ini meyebabkan ketergantungan. meskipun teknologi diciptakan untuk memudahkan aktivitas manusia, teknologi mempengaruhi kehidupan sosial manusia. dimana bahkan untuk membeli kebutuhan hidup mereka, dapat menggunakan sebuah aplikasi yang bergerak di bidang jasa.

 Ketidakmampuan finansial tentu menghalangi orang miskin dalam memenuhi kebutuhan yang tergolong baru ini. tetapi sebenernya teknologi itu hanyalah "pemanis". dimana adanya teknologi menciptakan standard efisiensi manusia dalam beraktivitas. sebenarnya orang miskin tetap bisa menjalani kehidupannya tanpa teknologi, tapi tentunya mereka tidak bisa beraktivitas se-efisien itu dibandingkan dengan bantuan teknologi.

  Dengan standard efisiensi yang sudah ada. masyarakat yang mampu dapat memaksimalkan kinerja mereka dengan menghabiskan sedikit waktu dan menghasilkan banyak waktu luang yang dapat dimanfaatkan untuk aktivitas lain. tetapi bagaimana dengan orang yang tidak mampu? mereka tetap  harus memaksimalkan kinerja mereka dengan kerja keras. setelah mereka selesai, mereka sadar bahwa kerjaan selanjutnya sudah ada di depan mata. kondisi sosial tersebutlah yang menyebabkan orang yang tergolong mampu cenderung atau berpotensi untuk bermalas - malasan dibanding orang miskin.

  Budaya  kemalasan cenderung terjadi karena seseorang sudah berada di zona nyamannya.  Terutama untuk generasi muda yang kebutuhannya sudah terpenuhi dikarenakan orangtuanya yang mampu. mereka yang tumbuh pada lingkungan yang sudah memenuhi kebutuhannya dapat menimbulkan pola pikir bahwa sistem tersebut akan selalu ada. tanpa penanganan yang tepat, generasi muda berpotensi untuk terpapar kemalasan. daripada menghabiskan waktu mereka untuk meningkatkan kualitas individu, mereka bisa saja sibuk untuk menikmati kelimpahan yang di berikan orang tuanya.

  Kemalasan merupakan salah satu pintu masuk dalam "Vicious Circle of Poverty" atau "Lingkaran Setan Kemiskinan". kemalasan akan menyebabkan "Low Productivity" atau produktivitas yang rendah, baik produktivitas barang dan jasa sampai peningkatan sumber daya manusia. setiap orang dialiri waktu yang sama, tinggal bagaimana mereka memanfaatkan setiap detiknya. ada yang memanfaatkannya untuk belajar untuk mengembangkan wawasan dan kualitas individunya, ada juga yang memanfaatkan waktu tersebut untuk hal yang tidak penting bahkan tidak melakukan apapun dan hanya merelaksasikan dirinya. Tentu menikmati apa yang dipunyai merupakan hak setiap orang. tetapi malas yang dimaksud adalah keengganan seseorang untuk melakukan sesuatu yang seharusnya atau sebaiknya dia lakukan. (Edy Zaqeus: 2008).

 Pada lingkaran setan kemiskinan, produktivitas yang lemah akan berdampak terhadap "investment" atau investasi. investasi yang dimaksud adalah penanaman kemampuan atau keahlian untuk memenuhi kebutuhan hidup.  manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan tersebut. tetapi ketika mereka mempunyai "investasi" yang rendah, maka mereka akan kalah dengan orang yang mempunyai kemampuan lebih. hal ini sangat tampak pada persaingan dunia kerja modern seperti rekrutmen suatu perusahaan dan instansi lainnya.

  Di indoneisa sendiri angka kemiskinan dalam 10 tahun (2007-2017) menurut BPS bergerak turun. meskipun pada tahun 2015 sempat terjadi kenaikan, tetapi setelah itu kembali turun. hal tersebut tentu tidak lari dari peran pemerintah dalam mengatasi kemiskinan. banyak upaya yang sudah diterapkan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia.

Dalam kepemerintahan Jokowi-JK beberapa upaya untuk mengatasi kemiskinan antara lain: Program Indonesia Pintar (PIP) , Program Indonesia Sehat (PIS) , Program Keluarga Harapan (PKH), Beras Sejahtera (Rastra) atau Bantuan Sosial Pangan , Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program Dana Desa , dan Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS).

  Selain tujuh program di atas, tentunya masih banyak lagi kebijakan dari pemerintahan sebelumnya yang masih dipakai.  Dan  pemerintah juga sudah memberikan banyak upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam pemerintahan Jokowi-JK, alokasi dana APBN untuk pendidikan mencapai 20 persen dari keseluruhan total APBN yaitu Rp492,555 triliun.  Hal ini tentunya bukti pentingnya peran lembaga pendidikan sebagai wadah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Tetapi, tetap saja bahwa kemalasan merupakan suatu kondisi sosial yang sulit untuk dikendalikan melalui kebijakan makro. Itulah gunanya peran norma sosial dalam masyarakat. Norma yang berlaku dalam masyarakat mempunyai caranya sendiri dalam mengatasi hal yang skalanya bukanlah cakupan pemerintah. Ketika ada orang yang malas, secara tidak langsung terdapat norma sosial yang dilanggar disitu, masyarakat dapat memberikan sanksi sesuai norma yang berlaku. Bisa berupa teguran, bahkan dikucilkan dari masyarakat.

 Hubungan antara kemalasan dan kemiskinan merupakan bukti bahwa kondisi sosial dapat berdampak terhadap kondisi ekonominya. Jika secara terus menerus mewariskan mental miskin, gampang menyerah, malas, berkeluh kesah rasanya kesuksesan akan sulit datang kepada siapapun. Karena sukses seringkali datang pada mereka yang berani, mau, dan berusaha untuk mengambil keputusan dan siap menanggung risiko yang ada di depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun