Mohon tunggu...
Ayu SabrinaBarokah
Ayu SabrinaBarokah Mohon Tunggu... Jurnalis - Citizen Journalist

Perempuan yang mencoba berdaya melalui karya tulis digital, dengan keyakinan Learning by doing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengkaji Mental Hidup Miskin yang Berpotensi Melanggengkan Kemiskinan

19 Juni 2020   19:55 Diperbarui: 19 Juni 2020   19:48 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 Jauh dari pemaparan tersebut, lalu timbul pertanyaan bahwa kemiskinan ini sebenarnya apa penyebabnya, apakah kebijakan pemerintah yang kurang tepat ataukah budaya dari masyarakat yang malas ? orang miskin di Indonesia pada umumnya adalah mereka yang jatuh miskin karena sesuatu hal menimpa pekerjaan atau bisnisnya, adapun yang memang sudah sejak lahir bersama dengan keluarga yang miskin.

 Penelitian terbaru lembaga riset SMERU Institute menunjukkan bahwa anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung berpenghasilan lebih rendah ketika mereka dewasa. Penelitian yang telah dipublikasikan di makalah internasional Asian Development Bank (ADB) menunjukkan pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87 persen lebih rendah dibanding mereka yang sejak anak-anak tidak tinggal di keluarga miskin.

Menggunakan data yang diambil dari kehidupan rumah tangga di Indonesia atau yang disebut dengan Indonesian Family Life Survey (IFLS) , tim peneliti SMERU Institute yang dipimpin oleh Mayang Rizky, Daniel Suryadarma, Asep Suryahadi mengolah data dari 1.522 anak dan membandingkan pendapatan mereka pada tahun 2000 ketika mereka berusaha 8-17 tahun dengan pendapatan mereka pada 2014 ketika mereka menginjak usia 22-31 tahun.

 Ini artinya, mereka yang teralhir dari keluarga miskin memang berpotensi untuk menjadi tetap miskin dari segi materi. Ini adalah alasan ilmiah anak keluarga miskin di Indonesia cenderung tetap miskin ketika dewasa. Ada persoalan akses terhadap pendidikan, budaya lingkungan, serta piranti teknologi yang membuat lingkaran kemiskinan menjerat mereka. Kita bisa lihat bahwa disini privilege itu nyata.

 Menariknya, ketika riset ini dirilis ke publik, beberapa pihak menyangsikan hasil penelitian tersebut. beberapa menampik hasil riset ini dan memilih percaya bahwa anak yang miskin bisa saja terlepas dari jerat kemiskinan ketika mereka bekerja keras. Penelitian tersebut memang bersifat kuantitatif dan tidak menjawab mengapa anak yang tumbuh dari keluarga miskin akn cenderung tetap miskin ketika mereka dewasa.

 Namun, penelitian itu menunjukkan bahwa keluar dari jerat kemiskinan tidak semudah yang banyak orang kira karena kemiskinan yang terjadi pada anak-anak berkaitan dengan kondisi kemiskinan keluarganya. Kemiskinan keluarga akan membatasi akses anak-anak mereka terhadap berbagai kesempatan, misalnya untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang sebenarnya diperlukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka.

Sebelumnya, pada 2015 SMERU melakukan penelitian kualitatif tentang hal yang sama. Dilakukan di dua kelurahan yang berbeda di Jakarta; Makassar; Sulawesi Selatan; dan Surakarta, Jawa Tengah. Riset ini melibatkan setidaknya 250 anak laki-laki dan perempuan dari keluarga miskin yang berusia 6-17 tahun di ketiga kota tersebut. Dalam penelitian ini, mereka mengamati perspektif subjektif anak-anak tentang kemiskinan. Mereka mewawancarai anak-anak tersebut tentang kondisi hidup mereka dan menemukan bahwa perbedaan kondisi kesejahteraan orang tua menentukan nasib anak-anaknya.

Penelitian tersebut menemukan bahwa anak-anak rupanya sangat mampu menjelaskan kompleksitas kemiskinan yang menjeratnya. Mereka menyadari adanya perbedaan status sosial-ekonomi di lingkungannya melalui hal-hal yang tampak seperti kondisi tempat tinggal, cara berpakaian, serta kepemilikan alat komunikasi dan kendaraan. Seorang anak bisa mengatakan mereka miskin ketika mereka tinggal di rumah yang kecil, tidak punya banyak kamar, lingkungan yang padat dan relatif kumuh seperti banyak sampah. Mereka bisa mendeskripsikan teman -- teman yang tidak miskin dengan sebagai anak -- anak yang memiliki telepon seluler dan kendaraan bermotor.

 Dari wawancara yang dilakukan tim  SMERU kepada anak -- anak yang menceritakan kondisi hidup mereka, penulis menyimpulkan bahwa perbedaan kondisi kesejahteraan orang tua menentukan nasib anak-anaknya. Dengan kata lain, perbedaan kesejahteraan orang tua menyebabkan kondisi ekonomi anak-anak mereka tidak berada pada garis awal yang sejajar.

 Anak yang orang tuanya memiliki aset atau sumber daya makan akan memberikan peluang bagi anaknya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan atau kesuksesan pada masa depan. Mislanya, anka -- anak yang lahir dari dari keluarga kaya memiliki peluang jauh lebih besar untuk memperoleh pendidikan non formal, baik yang sifatnya mendukung capaian pendidikan / akademik yang tidak seimbang ini menjelaskan mengapa anak miskin sulit keluar dari jerat kemiskinan.

 Contoh lain, anak -- anak tidak miskin yang dibekali telepon seluler dan kendaraan bermotor dianggap memiliki peluang lebih besar untuk melakukan mobilitas, mendapat pengalaman baru, termasuk berjejaring dengan orang -- orang baru yang akan memberikan peluang ekonomi yang lebih besar. Belum lagi perbedaan pola asuh di masyarakat miskin yang cenderung otoriter dan reaktif yang berisiko melanggengkan budaya miskin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun