Mohon tunggu...
Ayu Novita Rantika putri
Ayu Novita Rantika putri Mohon Tunggu... Paralegal

Menulis bukan sekadar kata, tapi cara melihat dunia.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perampokan Timah di Negeri Sendiri: Saat Korporasi jadi Tersangka

2 Oktober 2025   13:25 Diperbarui: 2 Oktober 2025   13:25 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, salah satunya timah, yang merupakan komoditas strategis dunia. Sayangnya, kekayaan alam ini sering kali justru menjadi "ladang rampasan" oleh segelintir pihak, baik oknum individu maupun korporasi. Kasus dugaan korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung yang kini menyeret sejumlah korporasi sebagai tersangka menjadi tamparan keras bagi wajah hukum dan ekonomi nasional.

Kasus ini tidak sekadar soal penyelewengan dana atau kerugian negara yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah, melainkan menyangkut kedaulatan bangsa atas kekayaan alamnya. Di sinilah istilah "perampokan timah di negeri sendiri" menemukan relevansinya. Korporasi yang seharusnya berfungsi sebagai motor pembangunan justru berubah menjadi aktor utama dalam praktik perampasan sumber daya.

Korporasi dalam Pusaran Tindak Pidana

Selama ini, hukum pidana kerap berpusat pada individu sebagai pelaku. Namun perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa korporasi juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Doktrin corporate criminal liability memberi landasan bahwa badan hukum tidak hanya entitas fiktif, tetapi juga bisa menjadi subjek hukum pidana.

Dalam kasus timah, penetapan korporasi sebagai tersangka bukan hanya simbolis, melainkan langkah strategis. Karena kerugian negara dalam jumlah masif jelas tidak mungkin lahir dari tindakan individu semata, melainkan hasil sistematis dari kebijakan, struktur organisasi, dan mekanisme perusahaan.

Kompleksitas Penanganan Saksi Korporasi

Salah satu isu yang menonjol dalam kasus ini adalah posisi saksi. Ketika korporasi menjadi tersangka, maka orang-orang yang bekerja di dalamnya -- direksi, komisaris, manajer, hingga pegawai lapangan -- sering kali ditempatkan dalam posisi dilematis.

Apakah mereka sekadar saksi, atau bagian dari pelaku? Bagaimana membedakan kebijakan yang memang diputuskan oleh korporasi dengan inisiatif individu? Pertanyaan ini penting karena hukum pidana tidak boleh membiarkan ruang abu-abu yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan.

Di sisi lain, perlindungan terhadap saksi juga menjadi kunci. Banyak pekerja yang sebenarnya hanya menjalankan perintah struktural, namun berisiko terseret sebagai pelaku. Maka diperlukan mekanisme perlindungan saksi yang kuat, termasuk dalam skema justice collaborator, agar keterangan mereka dapat membuka tabir korupsi tanpa membuatnya menjadi korban sistem.

Menguji Kesiapan Regulasi

Kasus timah juga menguji konsistensi regulasi di Indonesia. Apakah Undang-Undang Tipikor, UU Minerba, hingga UU Perlindungan Saksi dan Korban sudah cukup tangguh menghadapi kejahatan ekonomi skala korporasi?

Faktanya, instrumen hukum kita masih cenderung represif dan berorientasi individu. Penegakan hukum terhadap korporasi membutuhkan terobosan, mulai dari penyitaan aset perusahaan, pembekuan izin usaha, hingga larangan mengikuti tender negara. Hukuman denda saja tidak memadai jika dibandingkan dengan kerugian negara yang mencapai ratusan triliun.

Korupsi Sumber Daya Alam sebagai Kejahatan terhadap Bangsa

Jika ditarik lebih luas, kasus korupsi timah ini bukan sekadar pelanggaran hukum biasa, tetapi kejahatan terhadap bangsa. Mengapa demikian? Karena kerugian yang ditimbulkan tidak hanya berbentuk angka kerugian negara, tetapi juga hilangnya kesempatan generasi mendatang untuk menikmati kekayaan alam Indonesia.

Kejahatan sumber daya alam adalah kejahatan sistemik yang melibatkan jejaring kekuasaan, oligarki, dan pasar global. Maka, penegakan hukumnya juga harus sistemik: transparan, tegas, dan berpihak pada kepentingan rakyat.

Keseharusan Reformasi Hukum Korporasi

Kasus ini menjadi momentum penting bagi reformasi hukum pidana korporasi di Indonesia. Ada beberapa keseharusan yang perlu ditegaskan:

  1. Perluasan doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi, agar tidak berhenti pada level individu, melainkan menjerat badan hukum secara utuh.

  2. Instrumen perampasan aset yang efektif, sebagai bentuk pemulihan nyata atas kerugian negara.

  3. Perlindungan saksi dan justice collaborator, agar kebenaran material bisa terungkap tanpa mengorbankan pihak yang sebenarnya bukan pelaku utama.

  4. Kebijakan preventif berupa tata kelola pertambangan yang transparan, digitalisasi pengawasan, dan pemutusan rantai korupsi sejak perizinan.

"Perampokan timah di negeri sendiri" bukan sekadar narasi kritis, melainkan kenyataan pahit bahwa kekayaan bangsa masih rentan dirampas oleh segelintir elite. Penetapan korporasi sebagai tersangka adalah langkah maju, tetapi bukan akhir. Yang ditunggu adalah keberanian negara mengeksekusi secara konsisten: mengadili, menghukum, dan merampas kembali aset yang telah dicuri.

Hukum tidak boleh berhenti pada simbol. Ia harus menjadi senjata nyata untuk memastikan bahwa sumber daya alam benar-benar dikelola untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun