Faktanya, instrumen hukum kita masih cenderung represif dan berorientasi individu. Penegakan hukum terhadap korporasi membutuhkan terobosan, mulai dari penyitaan aset perusahaan, pembekuan izin usaha, hingga larangan mengikuti tender negara. Hukuman denda saja tidak memadai jika dibandingkan dengan kerugian negara yang mencapai ratusan triliun.
Korupsi Sumber Daya Alam sebagai Kejahatan terhadap Bangsa
Jika ditarik lebih luas, kasus korupsi timah ini bukan sekadar pelanggaran hukum biasa, tetapi kejahatan terhadap bangsa. Mengapa demikian? Karena kerugian yang ditimbulkan tidak hanya berbentuk angka kerugian negara, tetapi juga hilangnya kesempatan generasi mendatang untuk menikmati kekayaan alam Indonesia.
Kejahatan sumber daya alam adalah kejahatan sistemik yang melibatkan jejaring kekuasaan, oligarki, dan pasar global. Maka, penegakan hukumnya juga harus sistemik: transparan, tegas, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Keseharusan Reformasi Hukum Korporasi
Kasus ini menjadi momentum penting bagi reformasi hukum pidana korporasi di Indonesia. Ada beberapa keseharusan yang perlu ditegaskan:
Perluasan doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi, agar tidak berhenti pada level individu, melainkan menjerat badan hukum secara utuh.
Instrumen perampasan aset yang efektif, sebagai bentuk pemulihan nyata atas kerugian negara.
Perlindungan saksi dan justice collaborator, agar kebenaran material bisa terungkap tanpa mengorbankan pihak yang sebenarnya bukan pelaku utama.
Kebijakan preventif berupa tata kelola pertambangan yang transparan, digitalisasi pengawasan, dan pemutusan rantai korupsi sejak perizinan.
"Perampokan timah di negeri sendiri" bukan sekadar narasi kritis, melainkan kenyataan pahit bahwa kekayaan bangsa masih rentan dirampas oleh segelintir elite. Penetapan korporasi sebagai tersangka adalah langkah maju, tetapi bukan akhir. Yang ditunggu adalah keberanian negara mengeksekusi secara konsisten: mengadili, menghukum, dan merampas kembali aset yang telah dicuri.