Mohon tunggu...
Ayunda IzzatulIman
Ayunda IzzatulIman Mohon Tunggu... Psikolog - mahasiswi

saya mahasiswi biasa aja, bikin akun cuma buat tugas tapi semoga akun ini berguna kedepannya. terimakasih :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Komunikasi Non-Verbal dan Verbal dalam Interaksi antara Anak Autis dan Normal, Berbeda atau Tak Bisa?

13 Juni 2019   01:51 Diperbarui: 13 Juni 2019   01:58 1603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perbedaan antara anak normal dan anak autis terlihat pada saat ujian berlangsung, materi yang diujikan sedikit berbeda bebannya dengan anak normal dikarenakan pihak sekolah tidak mau menuntut siswa dengan gangguan autis untuk berpikir dengan beban yang sama dengan anak normal, hal ini dilakukan juga dengan . 

Dengan sistem kelas seperti ini, anak normal dan anak autis dapat belajar berinteraksi antara satu sama lain tanpa melihat latar belakang ataupun kondisi psikologisnya. Bukan hanya dalam pendampingan akademis, sekolah penulis juga menyediakan jasa guru pendamping untuk anak autis atau "shadow". Guru shadow ini bertugas untuk mendampingi anak autis di sekolah sebagai 

Shpigler, et al., (2017), menyatakan dalam jurnalnya,bahwa teori sosiobiologi\menyatakan bahwa ada hubungan kesamaan antara kondisi sosial manusia dan hewan yang berakar pada evolusi. Dalam penelitiannya, Shpigler menggunakan analisis genom untuk menentukan apakah kesamaan perilaku pada manusia dan lebah madu mencerminkan molekul umum mekanisme yang sangat sosial. Shpigler melaporkan bahwa ekspresi gen untuk lebah individu tidak responsif terhadap berbagai rangsangan sosial yang menonjol secara signifikan.

Penelitian ini dilakukan dengan cara membuat kelompok dari 10 lebah madu berumur 7 hari ke sebuah laboratorium yang melibatkan dua paparan rangsangan sosial yang berbeda. Kelompok pertama diberikan stimulus tantangan sosial yang memancing tanggapan agresif,dan kelompok kedua diberi stimulus dengan cara ratu larva memprovokasi alloparental care. 

Shpigler menguji 246 kelompok dari 7 koloni sumber yang berbeda secara genetik. Untuk menguji perbedaan yang stabil dalam respon sosial,masing-masing kelompok diberi tes yang melibatkan kedua rangsangan dalam urutan yang acak diikuti oleh paparan kedua rangsangan 1 jam kemudian. Tes ini diuji sebanyak empat kali dan menghasilkan tingkat respon yang berbeda serta rangsangan sosial yang diidentifikasi dengan kepercayaan diri yang lebih tinggi dari setiap kelompok lebah yang diberi stimulus. 

Gangguan kognisi manusia dan perilau sosial memang berkaitan dengan fitur genomik khusus yang ada di manusia. Sangat mungkin bahwa keadaan sosial serangga dan manusia berevolusi. Perkumpulan yang berbeda dari perilaku sosial yang kompleks secara mandiri satu sama lain,dengan kekuatan seleksi alam sangat berbeda pada perilaku sosial pada serangga dan manusia. 

Pada manusia, interksi sosial dianggap mewakili kekuatan selektif, karena individu yang tidak bisa terlibat dalam interaksi sosial yang normal akan kehilangan sumber daya informasi dan mengurangi kebugaran. 

Pada serangga, kebugaran individu tergantung pada kinerja seluruh koloni,dan mungkin lebih mudah untuk serangga dalam mentoleransi individu yang tidak responsif daripada secara aktif. Untuk mendukung spekulasi ini, lebah yang tidak aktif diartikan sebagai c"cadangan" tenaga kerja yang akan bertindak ketika koloninya menghadapi situasi stres. 

Namun, lebah madu yang tidak aktif selalu tidak merespon terhadap perubahan kebutuhan koloni. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa individu dengan gangguan autisme memiliki gangguan ekstrem pada spektrum respon sosial yang menyebabkan tidak memiliki nilai adaptif terhadap kelompok atau koloni mereka (dalam hal ini dimaksudkan adalah masyarakat sosial).

Meskipun ada perbedaan besar antara kondisi "masyarakat" lebah madu dan manusia, Shpigler telah mendokumentasikan kemiripan yang kuat dalam gen terkait dengan respon sosial. Sulit atau bahkan tidak mungkin untuk membedakan apakah kesamaan ini muncul dari nenek moyang yang sama atau evolusi konvergen,tetapi temuan Shpigler memberikan dukungan lebih lanjut untuk "toolkit" genetik yang dilestarikan dan digunakan secara independen dalam evolusi perilaku sosial.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji Responsifitas Sosial yang berisi 10 kelompok yang berisi 7 individu dewasa yang ditandai. Uji Responsifitas Sosial dilakukan di cawan petri didalam ruang inkubator yang suhunya dibuat semirip mungkin dengan lingkungan sarang (34 1 C, 50 10% kelembaban relatif). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun