Mohon tunggu...
Ayunda IzzatulIman
Ayunda IzzatulIman Mohon Tunggu... Psikolog - mahasiswi

saya mahasiswi biasa aja, bikin akun cuma buat tugas tapi semoga akun ini berguna kedepannya. terimakasih :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Komunikasi Non-Verbal dan Verbal dalam Interaksi antara Anak Autis dan Normal, Berbeda atau Tak Bisa?

13 Juni 2019   01:51 Diperbarui: 13 Juni 2019   01:58 1603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Anak penyandang autis mempunyai gangguan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan olang lain.  Autisme berasal dari kata "auto" yang berarti sendiri. Penyandang autis akan "hidup dalam dunianya sendiri". Yang memperkenalkan Autisme adalah Leo Kanner pada awal tahun 1943,suatu ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain,keterlambatan dalam bahasa dan perilaku yang sering diulang-ulang. 

Definisi autis menurut oxford dictionary, A developmental disorder of variable severity that is characterized by difficulty in social interaction and communication and by restricted or repetitive patterns of thought and behaviour.

Pada jaman sekarang,banyak ditemui anak dengan gangguan Autisme, hal ini dikarenakan semakin banyaknya faktor penyebab dari gangguan Autisme. Berdasarkan kutipan-kutipan diatas,dapat disimpulkan bahwa anak penyandang Autisme memiliki keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi verbal. 

Namun pada kenyataannya,penyandang Autisme lebih sering menggunakan komunikasi non-verbal karena mereka kesulitan menggunakan bahasa lisan. Sebagian anak autis lainnya menggunakan bahasa tubuh orang lain sebagai petunjuk tambahan untuk berkomunikasi.Untuk itu,kita harus mempunyai startegi dalam berkomunikasi dengan anak autis agar mereka dapat memahami komunikasi dua arah. 

Hal ini tidak hanya terkait dengan komunikasi dua arah,namun juga dalam penyampaian pembelajaran yang terkait dengan bidang akademis dan juga pola asuh orang tua penyandang Autisme agar tidak terjadi salah pola asuh yang akan berpengaruh pada tumbuh kembang anak penyandang Autisme.

However, the use of contingent response alone is not sufficient to establish imitation. First, it has been suggested that verbal praise and/or comments are not functional as reinforcement at the beginning of treatment for the facilitation of vocal imitation (Gazdag and Warren, 2000). (ishizuka, 2016)

Pada umumnya, autisme yang dapat dikategorikan sebagai gangguan perkembangan otak atau disebut juga dengan neurodevelopmental pada anak menonjol pada tiga bidang gangguan, yaitu gangguan sosial, gangguan komunikasi dan gangguan perilaku dengan minat terbatas dan berulang. Pada gangguan sosial atau gangguan interaksi sosial ini, anak dengan autism spectrum disorder ini kurang mampu atau bahkan ada yang tidak dapat mengerti dan memahami perasaan juga pikiran orang lain atau lawan bicaranya. 

Mereka juga tidak ada kapabilitas untuk memberi pengaruh atau merubah lingkungan disekitarnya. Sehingga pada umumnya anak dengan gangguan seperti ini akan cenderung tidak tertarik untuk berinteraksi dengan orang lain. 

Namun, dalam kondisi lain terdapat beberapa anak yang bahkan ingin berinteraksi dengan lingkungannya namun diharuskan dengan bantuan orang lain. Dalam gangguan komunikasi, anak dengan autisme biasanya sulit menggunakan komunikasi verbal (pemahaman konteks bahasa, misalnya). Sehingga beberapa anak cenderung memiliki kemampuan ekspresif.

There are 2 types of genetic complexity that will obscure linkage signals. First, there may be 

interfamily heterogeneity so that susceptibility genes on chromosome 7 and elsewhere may be risk factors for only a subgroup of families. Stratification of sibling pairs on clinical variables is an important strategy that can be used to deal with this type of heterogeneity (44,45). Second, there may be intra family heterogeneity in which sibling pairs may not share genes for all components of the phenotype (44). 

In this scenario, autism may be caused by many genes, each of small effect, in interaction, and each gene (or set of genes) may be a risk factor for a specific component of the autism phenotype. It may be easier to find genes associated with these so-called "endophenotypes" than to find genes associated with autism. (Nicolson & Szatmari, 2016)

Selain 2 faktor yang telah dipaparkan diatas, (Nicolson & Szatmari, 2016) menambahkan bahwa seks dan urutan kelahiran mempengaruhi IQ,namun tidak pada gejala autistik.

Focusing on the core features of autism may be more helpful. In a recently completed factor analysis, we found that symptoms from the 3 ADI domains (that is, reciprocal social interaction, communication, and repetitive activities) and measures of IQ and adaptive behaviour load on 2 discrete factors, which we call autistic symptoms and level of functioning (50). 

Level of functioning is usually measured with IQ (51) or the Vineland Adaptive Behavior Scales (VABS) (52) and refers, in general, to the extent to which typical adaptive behaviours needed for daily functioning are reached at appropriate developmental benchmarks. It appears that sex (53) and birth order (54) affect IQ but not autistic symptoms, further supporting the distinction between these 2 factors.

Anak autis memiliki kemampuan dalam merespon sesuatu jika mendapat imbalan secara langsung serta memiliki respon stimulus yang tinggi dalam merangsang dirinya selama proses belajar berlangsung. Perilaku nonverbal juga banyak diperlihatkan anak autis dalam proses belajar dengan gurunya. 

Perilaku nonverbal yang biasa dilakukan oleh anak autis yaitu bertepuk tangan, menyembunyikan tangan,menggoyangkan pensil,memukul kepala dan lain-lain. Awalnya banyak perilaku mereka yang tidak dipahami oleh gurunya, hal ini menyebabkan para anak Autis marah,menangis,dan bahkan mengamuk. Respon tersebut juga merupakan bentuk komunikasi nonverbal yang ditunjukkan oleh anak Autis saat ia tidak bisa mengutarakan emosinya dengan kata atau kalimat penjelas.

Anak Autis sering dianggap berbeda dengan anak normal,tak hanya dianggap berbeda,terkadang banyak dari anak normal mengucilkan temannya yang Autis. Hal ini dikarenakan oleh perilaku yang berbeda dan juga kurang mampunya anak Autis berkomunkasi dengan bahasa lisan. Anak autis memiliki gangguan pada bagian broca dan wernicke pada otaknya,sehingga mereka kesulitan mengucapkan dan memproduksi kata yang diungkapkan untuk mewakili apa yang ingin mereka sampaikan.  

Pada usia anak-anak,anak normal sedang ditahap ingin bermain dan berteman,sehingga diperlukan komunikasi dan interaksi dalam bentuk apapun. Pada usia anak-anak, komunikasi yang dilakukan mulai menggunakan komunikasi verbal, dan bukan lagi komunikasi nonverbal seperti saat bayi. Pada tahap anak-anak,anak normal biasanya sudah mengenal kata pengganti yang mengisyaratkan apa yang mereka rasakan. 

Seperti pada saat lapar, anak normal akan mengatakan "aku lapar", tidak seperti saat bayi yang hanya menangis. Namun,hal tersebut tidak terjadi pada anak dengan gangguan Autis. Contoh kasus yang sering ditemui yaitu pada saat lapar, mereka cenderung akan mengutarakannya dalam perilaku nonverbal seperti memegang perut,menunjuk makanan yang diinginkan, atau bahkan langsung mengambil makanan yang diinginkan.  Disini penulis akan menyanggah mitos yang berhubungan dengan hambatan komunikasi verbal yang dialami oleh anak dengan gangguan Autis saat berkomunkasi dengan anak normal.

Berdasarkan pengalaman pribadi, penulis pernah mengenyam pendidikan dasar di SD Muhammadiyah 16 Surabaya yang merupakan sekolah dengan konsep bermain dan belajar. Di sekolah ini, penulis tidak hanya berteman dengan anak yang normal,tapi juga anak yang memiliki gangguan autism spectrum disorder. 

Di sekolah ini juga tidak membedakan kategori kelas berdasarkan kondisi fisik maupun psikologis anak,semua anak dipandang sama dan mampu memahami pelajaran dengan caranya sendiri,bukan paksaan dan tidak ada paksaan wajib membawa buku tulis karena setiap materi dicatat pada worksheet dan dihiasi oleh anak. 

Perbedaan antara anak normal dan anak autis terlihat pada saat ujian berlangsung, materi yang diujikan sedikit berbeda bebannya dengan anak normal dikarenakan pihak sekolah tidak mau menuntut siswa dengan gangguan autis untuk berpikir dengan beban yang sama dengan anak normal, hal ini dilakukan juga dengan . 

Dengan sistem kelas seperti ini, anak normal dan anak autis dapat belajar berinteraksi antara satu sama lain tanpa melihat latar belakang ataupun kondisi psikologisnya. Bukan hanya dalam pendampingan akademis, sekolah penulis juga menyediakan jasa guru pendamping untuk anak autis atau "shadow". Guru shadow ini bertugas untuk mendampingi anak autis di sekolah sebagai 

Shpigler, et al., (2017), menyatakan dalam jurnalnya,bahwa teori sosiobiologi\menyatakan bahwa ada hubungan kesamaan antara kondisi sosial manusia dan hewan yang berakar pada evolusi. Dalam penelitiannya, Shpigler menggunakan analisis genom untuk menentukan apakah kesamaan perilaku pada manusia dan lebah madu mencerminkan molekul umum mekanisme yang sangat sosial. Shpigler melaporkan bahwa ekspresi gen untuk lebah individu tidak responsif terhadap berbagai rangsangan sosial yang menonjol secara signifikan.

Penelitian ini dilakukan dengan cara membuat kelompok dari 10 lebah madu berumur 7 hari ke sebuah laboratorium yang melibatkan dua paparan rangsangan sosial yang berbeda. Kelompok pertama diberikan stimulus tantangan sosial yang memancing tanggapan agresif,dan kelompok kedua diberi stimulus dengan cara ratu larva memprovokasi alloparental care. 

Shpigler menguji 246 kelompok dari 7 koloni sumber yang berbeda secara genetik. Untuk menguji perbedaan yang stabil dalam respon sosial,masing-masing kelompok diberi tes yang melibatkan kedua rangsangan dalam urutan yang acak diikuti oleh paparan kedua rangsangan 1 jam kemudian. Tes ini diuji sebanyak empat kali dan menghasilkan tingkat respon yang berbeda serta rangsangan sosial yang diidentifikasi dengan kepercayaan diri yang lebih tinggi dari setiap kelompok lebah yang diberi stimulus. 

Gangguan kognisi manusia dan perilau sosial memang berkaitan dengan fitur genomik khusus yang ada di manusia. Sangat mungkin bahwa keadaan sosial serangga dan manusia berevolusi. Perkumpulan yang berbeda dari perilaku sosial yang kompleks secara mandiri satu sama lain,dengan kekuatan seleksi alam sangat berbeda pada perilaku sosial pada serangga dan manusia. 

Pada manusia, interksi sosial dianggap mewakili kekuatan selektif, karena individu yang tidak bisa terlibat dalam interaksi sosial yang normal akan kehilangan sumber daya informasi dan mengurangi kebugaran. 

Pada serangga, kebugaran individu tergantung pada kinerja seluruh koloni,dan mungkin lebih mudah untuk serangga dalam mentoleransi individu yang tidak responsif daripada secara aktif. Untuk mendukung spekulasi ini, lebah yang tidak aktif diartikan sebagai c"cadangan" tenaga kerja yang akan bertindak ketika koloninya menghadapi situasi stres. 

Namun, lebah madu yang tidak aktif selalu tidak merespon terhadap perubahan kebutuhan koloni. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa individu dengan gangguan autisme memiliki gangguan ekstrem pada spektrum respon sosial yang menyebabkan tidak memiliki nilai adaptif terhadap kelompok atau koloni mereka (dalam hal ini dimaksudkan adalah masyarakat sosial).

Meskipun ada perbedaan besar antara kondisi "masyarakat" lebah madu dan manusia, Shpigler telah mendokumentasikan kemiripan yang kuat dalam gen terkait dengan respon sosial. Sulit atau bahkan tidak mungkin untuk membedakan apakah kesamaan ini muncul dari nenek moyang yang sama atau evolusi konvergen,tetapi temuan Shpigler memberikan dukungan lebih lanjut untuk "toolkit" genetik yang dilestarikan dan digunakan secara independen dalam evolusi perilaku sosial.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji Responsifitas Sosial yang berisi 10 kelompok yang berisi 7 individu dewasa yang ditandai. Uji Responsifitas Sosial dilakukan di cawan petri didalam ruang inkubator yang suhunya dibuat semirip mungkin dengan lingkungan sarang (34 1 C, 50 10% kelembaban relatif). 

Lebah-lebah itu diletakkan di piring dan dengan pasokan makanan serta tidak terkena rangsangan dari luar sampai awal percobaan. Semua pengamatan dilakukan diruang inkubator dibawah cahaya putih. Untuk mencari lebah yang tidak responsif,Shpigler mengembangkan tes menggunakan dua tes perilaku yang ditetapkan : tes resident-intruder dan uji keperawatan.

Tes resident-intruder adalah survei 5 menit dari semua interaksi agresif yang ditunjukkan oleh lebah penduduk terhadap lebah yang tidak terkait dengan instruksi ; beberapa individu lebah (2-4 individu per grup) bereaksi dengan perilaku yang sangat agresif,menyerang penyusup dengan menggigit dan menyengat. 

Sementara, Uji keperawatan adalah survei 5 menit dari semua interaksi pengasuhan antara lebah dewasa dan larva ratu lebah yang berusia 4 tahun. Dalam sel lilin yang dihasilkan oleh ratu lebah yang diperkenalkan ke grup,beberapa individu (2-3 individu per grup) menanggapi dengan memasukkan sel ratu untuk dilakukan pemeriksaan terhadap kondisi yang terjadi pada lebah lain. 

Kedua tes dilakukan pada kelompok lebah yang sama secara berturut-turut dan diurutan acak,dan kemudian kedua pengujian diulang secara acak selama 1 jam. Individu yang menunjukkan perilaku yang sangat agresif (menggigit dan menyengat) dikedua ujian tapi tidak respon terhadap ratu larva diklasifikasikan sebagai penjaga. Individu yang menunjukkan Alloparenting pada uji keperawatan tetapi tidak ada respon pada residen-residen pengujian diklasifikasikan sebagai pewawat. Sementara itu, individu yang tidak merespon sama sekali dalam empat percobaan didefinisikan sebagai individu yang tidak responsif.  

Sisa dari individu dalam kelompok diklasifikasikan oleh perilaku mereka yang termasuk menunjukkan respon yang lemah terhadap stimulus sosial,yang hanya merespon satu stimulus rangsangan (lebah penjaga dan perawat),yang menunjukkan tanggapan dari stimulus campuran, atau yang menunjukkan respon yang kuat untuk semua rangsangan sosial. Hanya penjaga,perawat,dan individu yang tidak responsif digunakan untuk analisis lebih lanjut. 

Eksperimen perilaku dilakukan dengan cara berulang dengan lebah dari tujuh koloni yang tidak terkait.  Penelitian ini juga dilakukan dengan cara melakukan uji terhadap kadar gula, Queen Pupal Cell Capping Test ; memasukkan satu larva ratu lebah berusia 4 hari ke setiap hidangan selama 24 jam untuk menguji bagaimana meningkatkan kekuatan stimulus sosial yang berdampak pada lebahyang tidak responsof terhadap tanggapan , MB Gene Expression Analysis, dan juga RNA-Seq,data Processing, and Analysis.

 Kesimpulan dari penelitian ini adalah kondisi sosial serangga bisa menjadi sumber yang bermanfaat serta fenotip yang relevan dengan penyakit kejiwaan manusia. Masyarakat tampaknya mentoleransi berbagai perilaku fenotip,termasuk perilaku yang sangat berulang,aktivitas yang luar biasa tinggi,dan kurangnya responsifitas terhadap berbagai rangsangan sosial.

Yuka ishizuka (2016) melakukan sebuah penelitian yang terkait dengan bagimana anak autis berkomunikasi secara verbal. Eksperimen dilakukan di Jepang dengan sampel 6 anak autis berjenis kelamin laki-laki dengan rentang usia 33-63 bulan. 

Yasu berusia 4 tahun dan sudah masuk TK. Ia bisa menirukan dan berbicara 2-3 suku kata dalam satu waktu,seperti "mobil merah",dan menjawab pertanyaan singkat seperti "siapa namamu?" atau "berapa umurmu?",namun ia tidak bisa terlibat dalam interaksi timbal balik dan membutuhkan dorongan dari orang dewasa. 

Gin berusia 3 tahun dan sudah masuk TK,dia memiliki kemampuan yang sama seperti Yasu,namun ia tidak bisa terlibat dalam interaksi timbal balik pada saat belajar. Yuta berusia 5 tahun dan sudah mulai masuk SD, ia bisa menirukan satu kata, seperti "mobil",namun frekuensi spontanitas berbicaranya sangatlah rendah. Ia tidak menjawab beberapa pertanyaan dan membutuhkan dorongan secara verbal untuk mengungkapkan ucapan satu kata. Teru berusia 2 tahun dan pergi ke pusat komunitas publik diawal penelitian.ia juga bisa menirukan beberapa kata,namun tidak melakukannya secara spontan. 

Pengejaannya tidak jelas dan biasanya terdiri dari ocehan yang tidak ada artinya. Kai berusia 5 tahun dan mulai masuk TK,saat penelitian ini ia bisa menirukan beberapa kata,frekuensi berbicaranya rendah dan artikulasi pengejaan tidak jelas. Taka berusia 3 tahun dan masuk TK,ia bisa menirukan beberapa kata,namun spontanitas dalam berbicara sangatlah rendah. Ia juga tidak menjawab sama sekali pertanyaan sederhana yang diberikan tanpa adanya dorongan verbal dari orang dewasa.

Seluruh rangkaian penelitian hanya dilakukan oleh satu peneliti. Penelitian dilakukan didalam ruangan kosong yang hanya terdiri dari satu meja dan 2 kursi. Penelitian dilakukan dengan cara menunjukkan kartu yang bergambar sebuah objek dan menyebutkan nama objek tersebut,dan anak autis diharapkan bisa mengulangi atau menirukan suara yang diucapkan oleh peneliti dengan spontan dan artikulasi yang jelas. Tujuan dari penelitian ini adalah membadingkan efek dari contingent imitation dengan contingent respond dari sampel penelitian. Hasil dari penelitian bahwa imitasi vokal dengan nada yang lebih tinggi menunjukkan akan lebih mempengaruhi proses bagaimana anak autis belajar.

Terkait dengan kesulitan yang dialami oleh anak Autis dalam berkomunikasi dan memahami bahasa lisan, anak Autis cenderung memiliki kemampuan yang menonjol di bidang visual daripada materi yang dipelajari hanya dengan ucapan saja. 

Visual dapat lebih membantu anak dalam memahami pesan yang disampaikan oleh dirinya atau orang lain. Anak Autis tidak bisa berkomunikasi layaknya anak normal lainnya dikarenakan gangguan spektrum Autisme yang merupakan gangguan perkembangan dalam pertumbuhan manusia yang secara umum tampak di tiga tahun pertama kehidupan anak tersebut. (budianto, 2013)

Menurut hasil penelitian dan banyak teori yang telah dipaparkan diatas mengenai komunikasi dan interaksi sosial dari anak dengan gangguan autisme, penulis kontra dengan mitos bahwa anak autis tidak bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak normal.  

Dari pemaparan yang telah ada,anak dengan gangguan autis bisa berkomunikasi dengan orang normal dengan gayanya masing-masing. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuka Ishizuka juga bisa diterapkan dalam pebelajaran anak usia dini dengan gangguan autis ataupun anak normal untuk menambah kosakata baru. 

Komunikasi yang dilakukan oleh anak autis dan anak normal bisa juga dilatih menggunakan komunikasi non-verbal yang di ucapkan. Misalnya ketika anak autis merasa haus, dan mulai memegang tenggorokannya maka anak normal harus mengerti dan mengikuti gerakan anak autis serta mengucapkan "mau minum" agar anak autis tersebut belajar cara mengekspresikan apa yang dirasakan. Disini penulis mematahkan mitos bahwa anak autis mengalami kesulitan belajar dikarenakan oleh susahnya berkomunikasi secara verbal dan kesulitan bersosialisasi dengan anak normal.

Penelitian yang dilakukan oleh Shpigler menunjukkan bahwa kurangnya responsifitas pada lebah mirip dengan yang dialami dengan anak dengan gangguan autisme dan juga gangguan responsifitas yang ekstrem. Hal ini kurang bisa diterima oleh penulis karena berdasarkan yang ada di ligkungan sekarang,banyak sekolah inklusi yang menerapkan focus group discussion  dalam pembelajaran yang melibatkan semua anak,tanpa menyendirikan anak dengan gangguan autisme.

Hal ini juga menunjukkan, anak autis memiliki cara yang berbeda dalam berkomunikasi dan bersosialisasi. Anak dengan autisme bukan tidak mungkin melakukan interaksi sosial,  mereka melakukannya dengan cara yang berbeda, tidak dengan komunikasi verbal melainkan menggabungkan antara komunikasi verbal (pengucapan dari apa yang merka rasakan) dengan non-verbal (gerakan tubuh yang menandakan apa yang mereka rasakan).

 

REFERENSI

budianto, i. (2013). PROSES KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANTARA GURU DENGAN MURID PENYANDANG AUTIS DI KURSUS PIANO SFORZANDO SURABAYA.

Carlson, N. R. (2013). Physiology of Behavior (11th ed.). London: Pearson Education.

duli, e. o. (2015). KOMUNIKASI NONVERBAL ANAK AUTIS DI SEKOLAH.

ishizuka, y. (2016). Contingent imitation increases verbal interaction in children with autism spectrum disorder.

Margaretha. (t.thn.). PSIKOPOTOLOGI : AUTISME . Diambil kembali dari PSIKOLOGI FORENSIK DAN PSIKOPATOLOGI: https://psikologiforensik.com/autisme/

Nicolson, R., & Szatmari, P. (2016). Genetic and Neurodevelopmental Influences in Autistic Disorder.

Pinel, J. P. (2009). Biopsychology (7th ed.). Boston: Pearson Education.

Shpigler, H. Y., Saul, M. C., Corona, F., Block, L., Ahmed, A. C., Zhao, S. D., et al. (2017). Deep evolutionary conservation of autism-related genes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun