Mohon tunggu...
Ayub Wahyudin
Ayub Wahyudin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Bukan Anak dari Trah Ningrat, Maka Menulis untuk menjadikan Hidup Lebih Bermartabat!!

Hobi Menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Takwil Lakon Gareng

20 Agustus 2023   08:39 Diperbarui: 20 Agustus 2023   09:01 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BANYAK istilah yang digunakan sebagai perumpamaan untuk menggambarkan situasi, refleksi dan kondisi masyarakat saat ini. Misalnya istilah Goreng yang dalam KBBI memiliki arti memasak kering-kering di wajan (kuali) dengan minyak; telah dimaknai dalam nuansa berbeda, ketika masyarakat kita seringkali membuat narasi dengan suasana gaduh dan meresahkan, memanipulasi fakta atau menambah dan mengurangi ragam peristiwa, munculnya sangkaan sehingga memicu terjadinya perdebatan, seperti bola liar yang terus-menerus ditafsirkan bahkan seolah menjadi kebenaran yang hakiki.

Pejabat publik, tokoh agama maupun masyarakat secara umum, perlu berhati-hati dalam menyatakan pendapat, produk hukum maupun wacana yang sedang atau dapat memantik terjadinya salah tafsir, "digoreng" sedemikian rupa, sehingga dapat menjerat serta menjerumuskan mereka pada hukuman sosial bahkan pada jeruji penjara.

Bahaya Prasangka 

Dalam bahasa agama, hal tersebut sangat dekat dengan istilah dzanni (prasangka atau spekulatif). Maka, premis-premis yang digunakan untuk mendukung kebenaran tersebut dalam tataran teoritis, memiliki premis yang semua atau sebagiannya bersifat cacat. Sesuatu yang bersandar kepada yang zhanni, sudah pasti tak akan menghasilkan sesuatu kecuali zhanni (praduga) pula. Istilah "goreng" pun memiliki kecacatan teoritis, sebagai sebuah praduga atau tafsir yang berbeda. Maka baik "goreng" maupun dzanni selayaknya dihindari untuk menghasilkan informasi yang benar dan asupan pengetahuan yang berdampak baik bagi perubahan

Asy-syatibi menyebut bahwa premis yang digunakan untuk menilai dan menghindari praduga adalah dengan; riwayat kebahasaan atau peristiwa, gramatika kebahasaan, riwayat perubahan, tidak mengandung ambiguitas, bukan metaforis, tidak memiliki peralihan makna, sisipan, pendahuluan dan pengakhiran serta tidak mengandung penolakan logis. Kesepuluh premis tersebut, penting diperhatikan agar kita memiliki kerangka berfikir yang baik, penilaian yang obyektif terhadap peristiwa maupun teks yang sedang terjadi dalam masyarakat kita.

Lebih lanjut asy-syatibi menjelaskan bahwa bisa saja, kumpulan praduga tersebut menjadi qath'i al dalalah (petunjuk yang benar), jika semuanya bermuara pada pemaknaan yang sama, berkumpulnya makna yang sama dari kolektivitas petunjuk yang plural itu menambah kekuatan tersendiri, yang pada akhirnya menjadi qath'i (pasti), tidak bersifat zhanni lagi. Ia berubah menjadi semacam mutawatir ma'nawi (makna yang bersambung atau berkorelasi), selanjutnya baru dapat disebut qath'i al dalalah (petunjuk yang benar). Lalu, bagaimana kita mengukur kebenaran tersebut berdasarkan pada sekumpulan praduga yang mengarah sama?.


Bahwa praduga kolektif tentu tak mudah ditemukan saat korelasi kepentingan politik masih menjadi asumsi dan cara pandang kita, terlepas dari beban emosi, benci dan hal lain yang menambah sederet berfikir secara logis dan obyektif tereliminasi. Ruang bijak dalam maya tentu sangat berpotensi kepada kita untuk tak latah menghujat dengan pandangan yang berbeda.

Kearifan diri sendiri yang menilai tak bisa dimanipulasi, apakah kecenderungan latah, tanpa membaca konteksnya ada pada diri kita, serta megabaikan praduga lain yang cenderung berbeda?, terdapat dalam cara pandang kita. Praduga yang mengarah sama tak bisa ditemukan pada waktu yang sama, saat berhembusnya peristiwa, tetapi membutuhkan sebuah pembelaan yang ditemukan kemudian.

Mulanya, penggunaan teori dzanni untuk menjelaskan ketidakjelasan atau kesamaran suatu lafal teks terhadap makna yang terkandung. Seiring perkembangan pengetahuan, konsep tersebut telah banyak digunakan dalam perdebatan fikih untuk memutuskan apakah sesuatu itu layak menerima perubahan melalui ijtihad atau tidak. Saat ini, fenomena "goreng peristiwa" telah merasuki dunia maya maupun fakta, sehingga tak menutup kemungkinan perlu dipertegas kembali tentang pencarian kebenaran, kepastian dan elaborasi pemikiran tentang asbab (sebab) terjadinya sebuah peristiwa. Tak hanya bersifat tekstual tetapi juga bermakna kontekstual. Maka, premis itu diperlukan untuk mendorong cara berfikir dan interaksi yang sehat.

Misalnya, tentang ungkapan metaforis atau mengandung ambiguitas, yakni kalimat yang memiliki dua atau lebih makna. Ambiguitas acapkali menjadikan sebuah kata atau kalimat memiliki keraguan, kekaburan, ketidakjelasan, dan sebagainya. Pernyataan Jenderal Dudung tentang 'karena Tuhan Kita itu Bukan Orang Arab', bagi sebagian orang memiliki makna ambigu karena Tuhan bukan makhluk atau orang, sehingga tidak jelas penempatan dan peruntukannya. Jika kita memaknainya sebagai kekayaan Intelektual sastra, tentu hal itu tak menjadi soal. Tetapi jika dimaknai secara tekstual akan menjadi masalah bagi mereka, karena memaksakan penempatan Tuhan setara makhluk.

Takwil Gareng

Apakah kita perlu teladan untuk menciptakan suasana kondusif?. Saat, "goreng peristiwa" menjadi arena perdebatan yang tak terkendali, perlukah Gareng diguratkan ulang dalam pitutur atau wejangan dalam dunia nyata dan maya. Mengapa demikian?, Sosok Gareng dalam tokoh punakawan yang berkaki pincang, memiliki arti sanepa yakni kawula yang selalu berhati-hati dalam bertindak, terutama untuk menghargai sesama, atau melepaskan nafsu angnkara, agar dapat berfikir positif.

Simbol Hidung besar menunjukan pada kepandaian dan tajam penciumannya, ia menyesuaikan pandangan atau cara berpikir secara komprehensif yakni atas, kesamping yang berarti bahwa dalam melihat sesuatu persoalan Nala Gareng tidak hanya melihat apa yang dilihat di depannya, artinya tak mudah menilai salah, apalagi suka "goreng peristiwa" atau berprasangka (dzan). Ia memperhatikan secara seksama situasi dikanan dan kirinya disebut dengan lambing ketelitian

Sementara, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Matanya yang juling dianggap sebagai tanda bahwa kini dia tidak tergoda oleh nafsu kekuasaan atau duniawi. Gareng digambarkan memiliki sifat pamomong atau mudah bergaul, meneliti dan memahami maksud juga mengasuh. Gareng teguh ketika membela yang benar. Seringkali memberikan petuah-petuah bijak yang kaya akan nilai filosofis kepada para ksatria Pandawa meskipun nasehat tersebut meriwayatkan kembali dari tokoh lain misalnya semar.

Meskipun sekedar tokoh pewayangan, namun telah lama menginsprirasi masyarakat kita yang memiliki ragam pegetahuan, ragam  tradisi dan budaya. Mengubah cara pandang "goreng" merefleksikan simbol Gareng dalam kehidupan maya dan fakta diperlukan untuk mendukung dialektika komunikasi yang baik antar sesama umat manusia. Kehati-hatian dalam bertindak, menyampaikan gagasan dan sebagainya.

Referensi Tambahan

Abi Ishaq al-Syatibi, Al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, Muhammad Hasnain Makhluf (ed.), (Bairut: Dar al-Fikr,tt)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun