"Gimana, Nduk cah ayu. Siap tak anterke om?"
"S...s..iap om, sebentar. Dini pamitan dulu,"
(Sambil memanggil ayah dan ibu untuk mencium kedua telapak tangannya).
"Hati-hati, ya,"
"Iya Bu, pak, Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam,"
Selesai bersalaman, sepanjang perjalanan Om Santo selalu bercerita masa mudanya yang dahulu.
"Om itu dulu ganteng loh, Din. Banyak cewek-cewek menyukai om. Om sampai bingung mau pilih yang mana. Cantik-cantik semua, sampai om bertemu istri om yang sekarang. Beeh, cantiknya bukan main, Din. Ngalahin kamu, hehehe,"
"Hehehe ya lah om, Tante Cintya lebih cantik daripada Dini. Aku kan ga pinter bersolek,"
Pintalku.
"Tapi, kamu cantik, Din. Pasti banyak yang naksir,"
"Ih apaan sih Om, Ndak ada,"
"Hahaha, bukannya ndak ada, kamu aja yang ga pede,"
"Mungkin om,"
Di tengah-tengah perbincangan, sudah ke -15 kali tangan Om Santo mengelus pahaku yang sedikit sintal dan berisi. Aku sangat risih sekali.