Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teko Loreng Nini

24 Maret 2024   11:21 Diperbarui: 24 Maret 2024   12:26 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Renny Asti dari Pinterest

Dari arah luar jendala, aku mendengar cericit beberapa burung kecil yang  begitu riang. Mereka asyik bermain di dahan pohon kedondong. Bagian samping rumah kami memang sejuk dan disukai oleh mereka. Termasuk tanaman singkong yang tumbuh subur, selalu dihinggapi burung-burung sepagi ini. Entah apa yang mereka perbincangkan setiap hari di situ.

Dapur sepi. Uma tidak tampak di depan perapian seperti dugaanku. Pasti Uma sudah tulak. Semalam abah mengajak kami ke pahumaan, memanen padi.

Aku duduk menghadap meja makan dengan perasaan lesu. Seandainya semalam aku tidak merasa gelisah, tentu bisa tidur lebih awal dan ikut juga bersama uma abah. 

Berada di ladang padi walau tak seberapa membantu, setidaknya aku bisa merasakan kegembiraan tersendiri karena bisa melihat itik ga'ak kami mandi di kolam. 

Aku juga suka menangkap belalang, lalu memasukkannya ke dalam botol bekas air mineral. Dan saat semalam hujan, paginya aku dan teman-teman berburu haliling yang gemuk-gemuk untuk dimasak. Sungguh masa kecil yang seru dan menyenangkan.

Aku memperhatikan dua gelas kopi yang tertinggal di meja makan.  Aneh sekali kalau abah tidak sempat meminumnya sebelum berangkat. Begitu pula wadai sarapan yang masih utuh di piring. Apakah uma abah terburu-buru?

Aku mencicip kopi dari salah satu gelas. Hmm, sepertinya ini bukan kopi buatan uma. Aku hafal betul. Ini mengingatkan pada kopi racikan almarhum nini. Meski tak terlalu kental, rasanya paling otentik karena merupakan hasil dari menumbuk sendiri tanpa campuran bahan lainnya.

Aku mencomot wadai di piring. Semasa kecil, aku senang sekali dengan jajanan ini. Namanya gethuk lindri, dibuat dari bahan singkong yang dikukus lalu digiling. Cara menikmatinya dengan ditabur kelapa parut mengkal dan disiram saus gula aren. Setiap penjualnya lewat di depan rumah, aku pasti memanggil uma supaya dibelikan. 

Suara burung-burung di luar jendela sudah mulai berkurang. Sepertinya beberapa dari mereka sudah terbang mencari makan. Matahari mulai meninggi, terlihat pucuk perbukitan di kejauhan lebih terang dari bagian lerengnya.

Aku masih terdiam. Entah harus mengerjakan apa karena uma memintaku membatalkan niatku untuk kuliah. Itu memakan waktu terlalu lama, kata uma. Kalau jodoh sudah datang, jangan ditolak, pamali!

Inilah yang membuatku gelisah akhir-akhir ini. Sebagai anak, aku ingin berbakti dan menyenangkan hati uma abah. Namun di sisi lain, aku ingin kuliah dan membangun kota kelahiranku bersama anak-anak muda lainnya. Untuk apa prestasi yang kami miliki jika harus berhenti di sini. Potensi kami seperti dimatikan pelan-pelan karena  pekerjaan rumah tangga akan menyita sebagian besar waktu. 

Aku beristigfar, menghembuskan nafas panjang perlahan, lalu memghirup oksigen sebanyaknya. Aku mengulang beberapa kali. Jantungku memompa darah pembawa oksigen dan nutrisi ke otak. Semoga segera  menghilangkan beban dan rasa khawatir di pikiranku.

Terus terang aku takut menghadapi pernikahan yang sebentar lagi dilaksanakan. Aku tidak nyaman sekaligus merasa tidak siap. Pernikahan bukanlah mainan. Setiap orang yang menikah punya konsekuensi yang harus dijalani. Dan lagi aku pasti sedih karena setelahnya akan berpisah dari uma abah.

Kudengar, calon suamiku itu berasal dari kota Banjarbaru, sehari semalam jika ditempuh dengan bus dari sini. Selama persiapan pernikahan, beliau tinggal sementara di rumah petak, sekitar tiga rumah arah kiri rumah abah. Posisinya di belakang rumah Julak Inur, tidak jauh juga dari tempat tinggal Mrs. Ariani.

Mrs. Ariani adalah guru bahasa Inggris semasa aku sekolah dulu. Tiga bulan yang lalu Mrs. Ariani dan suaminya datang menemui uma abah karena ingin menjodohkan aku dengan adik suaminya itu. Anehnya, uma abah setuju dan tidak keberatan kalau aku diboyong ke Banjarbaru setelah resepsi pernikahan.

Aku menyeruput kopi yang ternyata mulai dingin. Tiba-tiba aku teringat nini. 

Kalau nini masih ada, aku akan bersembunyi dalam pelukannya. Aku akan mengadukan kegelisahanku sampai tuntas.

Semasa kecil dulu, nini sangat sayang dan dekat denganku. Konon keluarga cukup lama menunggu bayi dari pernikahan uma abah. Uma sempat tiga kali keguguran sebelum aku lahir di tengah-tengah mereka. Setelah itu uma abah tak mempunyai anak lagi, walau sebenarnya aku sangat ingin mempunyai adik.

Nini adalah nenek yang sangat penyayang. Beliau juga sangat memanjakanku. Nini sering membuatkan lempeng pisang sebagai kudapan sore. Biasanya nini juga membuat kopi rasa otentiknya di teko loreng yang diletakkan di baki dengan beberapa gelas. 

Teko ini sudah berumur puluhan tahun. Sudah ada sejak nini masih muda. Terbuat dari bahan seng dan bentuknya sangat artistik. Aku sangat menyukainya.

Sebenarnya nini mempunyai tiga teko yang sama. Saat teko pertama mulai berkarat di bagian tepi bawahnya, nini mulai hati-hati menggunakannya. Ini adalah pertanda teko mulai keropos dan tak lama lagi akan terbentuk lubang kecil. Saat teko bocor seperti itu, nini akan mengeluarkan teko berikutnya untuk digunakan.

Tak terasa air mataku mulai menggenang di pelupuk mata, menandai kerinduanku pada kasih sayang nini. Besok, aku akan ke kubur nini untuk berziarah dan mendoakannya.

*

Sudah beberapa hari aku tak mendengar suara burung kecil yang biasanya ramai di luar jendela dapur. Pohon singkong abah sudah dicabut semua dan tanahnya diratakan. Sebenarnya belum waktunya dipanen, tetapi uma dan para tetangga perlu tempat untuk membuat tungku masak. 

Suasana rumah sangat ramai belakangan ini. Aku berdiam di kamar untuk memenuhi masa pingitan yang tinggal dua hari lagi. 

Besok, aku akan menjalani prosesi batimung. Tujuannya agar mempelai tercium wangi di hari pernikahan. Julak Inur sudah mempersiapkan sarai wangi dan bahan lainnya. Beliau adalah pelestari adat pernikahan suku Banjar. Dulunya, nini lah yang melayani warga kampung untuk batimung jelang hari pernikahan. Sekarang pekerjaan ini ditekuni Julak Inur, kakak kandung abah.

Tiba-tiba mataku melihat teko loreng nini di atas meja dekat ranjang besi. 

Sejak kapan teko itu ada di situ? Sudah sejak pagi aku di sini dan belum ada orang yang masuk kamar pingitan. Jam makan siang pun masih sejam lagi dan belum ada yang mengantarkan nasi.

Aku menyentuh tekonya. Masih hangat. Berarti belum terlalu lama diletakkan di sini. Mungkin saja aku tidak menyadarinya karena sibuk melamun tadi.

Aku menuang kopi di gelas kaca. Hmm, ini adalah kopi buatan nini. Aku hafal bagaimana racikan tangan nini dan rasa otentiknya.

Tapi masalah ini pernah kuceritakan pada uma. Uma merasa aneh karena sudah lama tak membuat kopi sejak abah sakit lambung. Lalu siapa yang melakukannya? Apakah nini hadir belakangan ini untuk merestui pernikahanku? Ah, aku benar-benar rindu pada nini. Al Fatihah untuk nini...

***

Kota Kayu, 24 Maret 2024

Cerpen Ika Ayra

____________

Kosakata suku Banjar:

Uma : mama, ibu

Abah: bapak

Julak: kakak dari orang tua kita

Tulak: berangkat

Pehumaan: sawah

Itik ga'ak: bebek sawah

Haliling: keong sawah yang dimakan

Wadai: kue-kue

Gethuk lindri: jajanan pasar teruat dar singkong yang dikukus, digiling, dan dinikmati bersama kelapa parut mengkal dan saus gula aren

Nini: nenek

Lempeng pisang: kudapan terbuat dari tepung dan pisang mahuli yang dihaluskan dengan bagian bawah gelas, ditambah sedikit gula dan sejumput garam, dimasak ala dadar telur

Batimung: adat mandi uap dari tumbuhan serai wangi sebelum hari pernikahan

Ika Ayra, ibu dari tiga anak perempuan. Senang menulis cerpen di Kompasiana sejak  Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun