Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sejuta Alasan Bermain Api

30 Oktober 2020   05:34 Diperbarui: 7 November 2020   05:23 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku sudah lama mengenal wanita cantik ini, tepatnya beberapa tahun yang lalu. 

Aku bukan mengenalnya dengan baik, hanya sekitar tiga bulan. 

Dan selama bertahun-tahun pula wangi parfumnya membayangiku. Kemana pun aku pergi, seakan ia masih ada. 

Mungkin ini hanya perasaanku, dan mungkin juga suatu kebetulan. Wangi parfum yang enak, akan disukai banyak orang sekalipun tak saling kenal. Apalagi jika bisa ditanya dari seorang teman, 

"Pakai parfum merk apa? Wanginya enak... mau hunting merk yang sama..."

Tetapi wangi parfum bukanlah seluruh daya tarik kak Nana, nama wanita multi magnetis ini. Suaranya yang manja pun memikat telinga. Deretan kalimat meluncur seiring senyumnya yang ramah. Semua natural tanpa dibuat-buat. 

Caranya berjalan pun tampak anggun dengan gamis menyentuh lantai. Setiap hari aku berjalan di belakangnya, setiap hari pula aku terpesona. Benar-benar seorang wanita jelita yang menawan.

Terkadang di waktu senggangku dulu aku berpikir, ngeri juga berada di dekat kak Nana. 

Usia kami hanya terpaut satu tahun, tapi ia tampak dewasa dan ngemong. Tak jarang kami menggunakan pakaian yang mirip, tapi tampak juga kelas kami berbeda. Entah dari mananya. 

Masalah postur, kami pun mirip. Tinggi 155cm dan bb 50kg. 

Ah ya, tentu saja karena ia bos dan aku karyawan. Aura dan cahaya kami tentulah menjadi berbeda. Tapi bukan itu yang menggangguku.

Berapa lama hari dalam seminggu, sebanyak itu pula aku mendengar dan sekali-sekali melirik kak Nana asyik bertelepon ria dengan seseorang. Tentu saja bukan dengan suaminya, tetapi suami dari wanita lain yang dia katakan terpaksa dinikahi.

"Kak Anto terpaksa nikahin dia mbak..." ceritanya suatu waktu.

"Di kampung sana masih ada aja orang tua yang menjodohkan anaknya dengan orang lain, supaya bisa melupakan aku ini mbak..." imbuhnya lagi.

Perlahan tapi pasti aku paham cerita ini. Separuhnya terasa dongeng, tapi separuhnya lagi seakan nyata karena kak Nana sesekali ngeload speaker handphone mahalnya. Sambil memeluk boneka dan terkadang berguling kiri dan kanan, lalu duduk lagi. 

Apa yang mereka bicarakan tidak terlalu penting, hanya keseharian. Juga tidak terlalu rahasia, karena hanya bermanja-manja.

Sebagai asisten aku hanya bisa bengong, dan pernah juga sih berusaha jujur dan mengingatkan. Kok bisa orang sekaya dan sehebat kak Nana gagal move on, meminjam istilah kekinian. Bukankah antara ia dan Kak Anto sudah berlalu lebih dari lima tahun? Karena si ganteng Niko anaknya sudah seusia pula dengan putri pertamaku yang hampir masuk Sekolah Dasar. Cerita kasih tak sampai antara keduanya yang terjadi karena kesalahan Kak Anto. Setidaknya itu juga pengakuan kak Nana beberapa kali padaku.

"Dia sudah minta maaf mbak... Berkali-kali..."

"Aku paling hanya bisa nangis..."

"Mana bisa ceritanya diulang lagi, sekarang sudah ada papa Niko. Mana mungkin aku bercerai cuma untuk mau melanjutkan hubungan kami yang dulu..."

Tampak sesal yang menekan setiap kalimat wanita berkulit putih ini. Bibir tebalnya yang sensual begitu cantik karena ditarik-tarik. Bukan sengaja genit, tapi kak Nana bicaranya sambil senyum pada siapa saja dan kapan saja. Sudah menjadi ciri dan gayanya. Dari sana pulalah kecantikannya yang alami terpancar. Kak Nana begitu jelita.

Dulu, orang tua Kak Nana mengajukan angka fantastis agar ia dan Kak Anto bisa menikah. Sebenarnya mereka masih kerabat juga. Sejak pertemuan dengan orang tuanya itu, keduanya tak pernah bertemu lagi. Beberapa surat cinta Kak Nana tak berbalas. Ia mulai merasa aneh. 

Dua tahun lamanya ia menunggu Kak Anto datang seperti dulu untuk memadu kasih dengannya. Tapi mana? Lelaki itu seperti hilang ditelan bumi. Segala kata cinta nan mesra seakan hanya bualan. Selama itu Kak Nana yang jelita menunggu, kesepian, dan kebingungan. Dalam hatinya masih sangat berharap. Ia masih ingin Kak Anto datang dengan sejumlah mahar dan menghalalkan dirinya. Lalu mereka akan memiliki anak-anak yang lucu buah cinta mereka berdua.

Hidup terlalu menyakitkan saat itu. Dua tahun bukanlah penantian yang enak untuk dinikmati. Dua tahun bukanlah sebuah waktu uang singkat. Ia terus merindukan dan menunggu kekasihnya datang dengan seluruh cinta. Tapi semua tampak seperti khayalan. Ia seperti seorang pecundang dengan cinta tak berbalas. Ia benci Kak Anto yang ingkar janji. Dan ia benci sudah ditinggalkan tanpa sepatah kata selamat tinggal. 

Apa salahnya? Apa salah dirinya? 

Ia tak pernah tau. Bahkan mengira-ngira pun tak bisa. Terlalu menyakitkan menjadi dirinya saat itu.

Wanita jelita di depanku menyeka sudut-sudut matanya dengan tissue. 

Lalu datanglah lelaki gagah dan kekar menawarkan sebuah hati yang tulus, segenap cinta yang gentle. 

Bukan dengan segudang emas permata ia datang menemui orang tua Kak Nana. Hanya sebuah perasaan tulus menyayangi dan mencintai wanita patah hati ini. 

Mereka pun menikah selang dua bulan berkenalan. Waktu yang singkat memang. Dan wanita jelita tak perlu menjajaki apakah lelaki ini cukup baik untuk hidupnya. Tak perlu mengenal sifatnya lebih jauh. Toh Kak Anto yang sudah dikenalnya sangat baik, bertahun-tahun mereka merajut asmara, meninggalkannya tanpa kabar selama dua tahun. Sekarang waktunya memberi hukuman dengan pernikahan ini.

Tak ada sebuah pesta yang besar dan mewah seperti yang dibayangkannya akan terjadi antara dirinya dengan Kak Anto. Sama sekali bukan. 

Pernikahannya dengan lelaki tulus ini hanya berlangsung sederhana dan hanya dihadiri keluarga dekat. 

Apakah ia bahagia?

"Sampai sekarang pikiranku masih melayang-layang, mbak..." akunya.

"Aku ngga bisa berhenti memikirkan pernikahanku yang gagal lalu aku harus menikah dengan orang lain..."

Wanita jelita terus mengisak. Hidungnya memerah dan kedua pipinya juga.

"Setelah dia mendengar dari keluarga besar bahwa aku sudah menikah, barulah dia muncul, mbak..."

"Langsung kutampar dia..."

"Aku histeris seperti orang kesetanan..."

Aku mendengarkan dan tergugu. Wanita jelita melanjutkan ceritanya lagi.

"Katanya dia merasa tersinggung dengan orang tuaku, mbak... Karena diminta uang mahar yang besar..."

"Dia merasa ditolak secara halus..."

"Lalu dia pergi ke Pulau dan berusaha melupakan aku..."

"Itulah yang aku sesalkan, semestinya dia bisa berunding dengan orang tuaku kalau tak sanggup. Setengahnya pun orang tuaku mau menerima dia mbak. Pesta yang besar itu karena kami keluarga besar, tak mungkin dipilih-pilih untuk diundang. Nyatanya papa Niko juga tak bisa memberikan pesta besar. Nyatanya dipilih-pilih juga keluarga yang diundang..."

Tangisnya pecah. Punggung wanita jelita berguncang tanda luka hatinya teramat dalam. Mungkin sudah takdirnya seperti ini, katanya suatu kali.

Sudah bertahun wangi parfumnya hilang. Kemana pun aku pergi, tak tercium lagi seolah wanita jelita meqmang tak di dekatku.

Sampai sekarang Kak Anto tak menyentuh istrinya. Siang dan malam kerjanya hanya menelpon kekasih yang sudah jadi milik lelaki lain. 

Ia tau itu salah. Ia tau ia tak gentle. 

Dan lelaki gagah perkasa bukan tak tau istrinya dicumbui dari ujung telepon. Tapi untuk apa ia marah. Ia sudah cukup beruntung mempunyai istri sebaik Kak Nana dan anak lelaki seganteng Niko. 

Kalau ia cemburu dan kekanak-kanakan, ia bisa kehilangan istri yang dicintainya. Wanita jelita akan segera diambil kekasihnya di masa lalu. 

Ia tak mau bodoh seperti itu. 

Toh sang istri tetap di rumah bersama dirinya dan anak mereka. Tetap menemaninya tidur walau berbalik punggung. Tapi sekali-sekali bermanja juga padanya. Cerita Kak Nana, mengapa suaminya tak marah.

"Terkadang aku balas chat di depan papa Niko, mbak... Malah dia yang ingatkan kalau handphone ku bergetar..."

"Tuh...ada chat dari mantanmu...entar dia nungguin loh kalau ngga dibalas..."

Aku mengangguk-angguk mendengar cerita wanita jelita.

Sejuta alasan bermain api.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun