Kalau kita tokoh sebuah karya fiksi, mungkin kita dipertemukan oleh laut. Tak sepenuhnya, tentu. Tapi laut selalu dihubungkan dengan ombak, bukan? Dan pasti beririsan dengan karang, burung camar, dan jangan lupakan senja. Senja selalu menciptakan siluet, mungkin perahu nelayan, atau horison yang memerah, kemudian menggelap.
Sertakan juga juga siluet tubuh sepasang kekasih, menatap nun di kejauhan. Mari kita berpura-pura, bahwa sepasang kekasih itu adalah kita. Apa yang akan kita lakukan? Tentu aku akan merengkuh pinggangmu, dan kau bersandar di dadaku. Kita akan saling cerita, dengan diam. Tapi itu akan membuat dada kita berdentam-dentam.
Kita akan menyusuri pantai dengan bertelanjang kaki. Meninggalkan jejak-jejak. Lalu disapu oleh ombak. Seseorang wisatawan lokal sempat memotretnya dan diunggah di akun Instagram pribadinya, dengan caption: Jejak kenangan dari sepasang rindu.
Dan burung-burung camar seperti berterbangan pada kerjap bola matamu. Sedang gemuruh ombak aku jadikan metafora pada hujan yang kini tinggal rintik-rintik, jatuh di tengah kota. Sinar senja memantul di genangan air, pecah berpendar terkena roda kendaraan.
Batu-batu karang yang dingin seperti gedung-gedung tinggi itu: beku, tak peduli. Jalan layang dilintasi kereta, membawa penumpangnya yang lelah, yang mimpinya remuk siang tadi. Suara klakson, lalu lintas yang macet. Sebuah truk berjalan lambat. Di bak belakang tertulis: Hati-hati! Beberapa potong rindu menanti di rumah.
Lampu-lampu kota mulai dinyalakan.
Di sana, di sebuah halte kau berdiri. Menungguku. Rambutmu sedikit basah, juga pakaianmu. "Sori, tadi terjebak macet," kataku. Kau tersenyum, mengangguk, memaklumi. Lalu kita menyusuri trotoar, cuaca agak menggigit. Aku melepaskan jaket dan kusampirkan pada bahumu. Sorot matamu mengucapkan terima kasih.
Kita mampir di warung bakso. Kau tak suka micin, daun bawang, saos, juga ..., "Apa yang kamu tak suka?" Kau memandangku.
"Kalau bersamamu, apa pun aku suka."
Kau memukul buku jariku pelan. Tersenyum. Ups! Sebentar.