Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Izinkan Aku Bercerita tentang Emak

4 Februari 2020   05:43 Diperbarui: 5 Februari 2020   00:15 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Pixabay.com)

Emak bagi kami adalah matahari, setiap pagi ia menghangatkan kami. Ia juga bisa membakar, kalau harga diri keluarga ada yang mencoba menawar (tapi Emak lebih suka diam dalam doanya). 

Emak juga tulang-belulang kami. Setiap pagi hingga sore hari berdagang di pasar, agar kami tak takut untuk bermimpi ( oh, ya, kami sejak kecil sudah menjadi yatim ) 

"Ayah di mana, Mak?"

"Pergi jauh."

"Ke mana?"

"Surga."

"Ayah di surga?"

"Ya, kalau kalian sering berdoa untuknya."

***

Emak juga pandai bercerita. Matanya begitu hidup. Ia sering mengantar kami lelap, membawa rama-rama dan Putri yang diketuk-ketuk menjadi burung oleh nenek sihir. Di malam yang lain ia membawa kancil, harimau, dan buaya ke kamar kami. 

Kepandaiannya dalam bercerita ternyata karena Emak waktu masa mudanya memang suka membaca. Emak juga suka nonton film. Emak sering menyebut nama Ramli, yang perannya di film sangat disukai Emak. Setelah aku dewasa baru kutahu, yang dimaksud Emak adalah P Ramlee, aktor dari Malaysia. 

Aku selalu menjadi tumpuan cerita bagi Emak, karena aku anak tertua saat itu; kurasa aku masih kelas IV SD. Ada dua kakakku, kelas 6 SD, sudah merantau ke Jakarta, mengikuti orang. Bukan kami keluarga hebat, kecil-kecil sudah merantau. Pikiran dua kakakku sederhana, setidaknya dengan mereka tidak di rumah, Emak tak memikirkan lagi untuk membeli beras untuk kedua kakakku. Sebuah pikiran dari seorang anak, yang lahir dari keluarga miskin, jauh melampaui usia tubuhnya. 

Banyak hal yang diceritakan Emak: Dari pengalaman masa kecil, masa gadis, hingga kebersamaannya dengan Ayah. Yang bisa kutangkap, Emak melalui hidupnya dengan penuh kesedihan. Barangkali itu sebabnya Emak menumpahkan cerita itu kepadaku, walaupun saat itu aku tak terlalu mengerti. Mungkin dengan cara itu kepedihan yang Emak rasakan sedikit berkurang. 

Tapi pernah juga Emak bercerita dengan senyum. Emak pernah memperdayai Lelaki dari Jawa -begitu istilah Emak. Di Pasar Atas Bukittinggi, Lelaki dari Jawa itu menurut saja apa yang dikatakan Emak. Entah ilmu pukau apa yang dibaca Emak. Tapi Emak tak mau mengambil uangnya, hanya sekadar makan dan minum saja. 

Ilmu ini pula yang menyelamatkan Emak saat perjalanan dari Teluk Bayur menuju Tanjung Priok. Emak waktu itu membawa kami yang masih kecil-kecil. Ongkos kapal laut untuk anak kecil adalah separuh dari ongkos orang dewasa. Tapi Emak tak membeli tiket untuk kami, karena Emak memperkirakan sisa uang bekal itu tak cukup untuk perjalanan nanti. 

Para penumpang - terutama yang laki-laki - dihardik, bahkan ada yang ditempeleng, kalau ketahuan tak membayar. Saat tiba giliran Emak diperiksa, penjaga kapal itu seperti tak mampu bersuara. 

"Kenapa anaknya tak ada tiket?"

"Ya, saya tak mempunyai cukup uang."

Emak lolos begitu saja, membuat penumpang lain terheran-heran. Dan aku ingat setelah aku dewasa, Emak tak mau mengajarkan ilmu itu kepada anak-anaknya. Entah kenapa. 

Aku juga masih ingat waktu kami kecil dahulu, saat kami takut kegelapan. Emak memasukkan -istilah kami - cahaya bulan. Juga seolah-olah menaruh bintang di langit-langit kamar, agar kami mudah menyangkutkan mimpi. 

Seperti halnya perempuan lain, Emak juga mempunyai air mata, tapi tak diperlihatkan kepada anak-anaknya. 

Pernah pada suatu malam kamar seperti bergetar. Emak di tengah sujudnya, tenggelam oleh air mata. 

"Emak menangis?"

"Tidak."

"Tapi Emak mengeluarkan air mata?."

"Terkadang air mata bisa mengobati luka."

"Emak terluka?"

Emak tersenyum. 

Sejak itu aku berjanji, tak kan kubiarkan Emak mengeluarkan air mata. 

***

Cilegon, Februari 2020.
Untuk Mbak Widz: Selamat ulang tahun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun