Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Semerbak Lavender di Kintamani: Bab Empat Belas

12 Oktober 2025   20:50 Diperbarui: 12 Oktober 2025   20:50 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya....

Malini muncul dari kegelapan, sesunyi bayangan. Rambutnya diikat sanggul, tersembunyi di balik selendang gelap. Dia mengenakan jaket abu-abu sederhana, terlalu besar untuk sosok rampingnya. Tangannya gemetar, bukan hanya karena kedinginan. Di tangan kirinya, dia memegang sebuah bungkusan kecil, terbungkus rapi dalam kain minyak. Di dalamnya: surat-surat, kenangan, sebuah liontin perak kecil berukir "P."

"Kamu yakin?" bisiknya, nyaris tak terdengar.

Pierre mengangguk. "Hanya itu jalannya. Kalau kita menunggu lebih lama lagi, pelabuhan akan ditutup, dan pengawasan akan diperketat. Dalam dua jam, air akan cukup tinggi. Tukang perahu sudah menunggu."

Mereka saling memandang, hanya sesaat, dan dalam tatapan itu tersimpan lebih dari yang bisa diungkapkan kata-kata: ketakutan, harapan, perpisahan. Lalu dia meraih tangannya. Dingin, tetapi genggamannya erat.

Bersama-sama mereka berlari menyusuri gang sempit, melewati rumah-rumah yang masih terbengkalai dengan jendela tertutup. Tak ada cahaya, tak ada suara. Hanya gonggongan anjing di kejauhan di suatu tempat di tanggul dan deru pelan air pasang yang datang mengiringi mereka.

Di pelabuhan, semuanya sunyi. Air berdebur lembut di atas bebatuan dermaga, dan seorang tukang kayu tua bergoyang gelisah di dermaga darurat. Sang juru mudi, seorang pria berjanggut dengan wajah retak dan raut wajah muram, menunggu. Dia mengangguk kepada mereka, tetapi tak berkata sepatah kata pun. Semuanya telah diatur sebelumnya. Di perahunya terdapat sekaleng bensin, beberapa selimut, dan sebuah kompas kecil.

Pierre membantu Malini naik ke atas perahu. Mereka merapatkan diri, bahu bersentuhan, dan untuk sesaat, seolah-olah tak ada awak, tak ada perang, tak ada musuh---hanya mereka berdua, air, dan hamparan gelap.

Namun kemudian, sebuah suara. Pertama, pelan, nyaris tak terdengar. Kemudian langkah kaki. Sepatu bot yang berat dan kokoh di atas trotoar basah. Sebuah suara memanggil sesuatu dalam bahasa Jepang, samar namun tegas. Pierre membeku. Malini merapatkan diri ke arahnya. Juru mudi mengumpat pelan dan mencoba menyalakan mesin, tetapi motor tempel kecil itu hanya batuk-batuk. Dua tentara muncul dari kegelapan---berseragam heiho, senapan mesin ringan tersampir di dada mereka. Salah satu menyorotkan senter. Sinarnya berkelebat di air, lalu melintasi perahu. Dia berhenti.

"Ada apa?" teriak salah satu tentara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun