Mereka menunggumu, di Istana Beludru di Malam Hari.
Mereka tidak punya hal lain yang lebih baik untuk dilakukan. Semua orang tahu cerita akan berakhir untuk kemenangan sang pahlawan, dan siapakah pahlawan itu kalau bukan kamu?
Itulah sebabnya setiap cermin di setiap penginapan di kota ini terpesona, memperlihatkan rahang yang dipahat, lengan yang diukir.
Sembilan dari sepuluh pahlawan benar-benar membutuhkan dorongan semangat di sepanjang perjalanan.
Saat kamu berkuda menuju penginapan, kamu mendengar burung gagak berkaok. Melihat mereka bertengger dalam jumlah banyak di pepohonan. Namun, mereka tidak turun. Angin mengacak-acak bulu hitam mereka, tetapi tidak rambutmu.
Para pahlawan harus terlihat gagah untuk dilukis. Suara yang tidak wajar, erangan pelan yang menarik pikiranmu ke segala arah, tampaknya muncul di sekelilingmu.
Di atas bukit, reruntuhan istana mencuat seperti pisau menusuk langit kelabu yang dingin. Kamu menggigil.
Delapan dari sepuluh pahlawan rentan terhadap pertanda cuaca.
Di sanalah mereka menunggumu. Kamu melihatnya dalam mimpi-mimpi burukmu yang gelisah selama berminggu-minggu: kaki pucat seperti tulang ayam di balik renda hitam bagaikan dosa. Bibir merah yang aneh.
Meskipun wanita-wanita ini tidak mati, mereka tampak jauh lebih bersemangat daripada gadis-gadis baik di rumah: kamu tahu siapa mereka. Gadis hambar tetangga yang menamparmu ketika kamu mendorongnya ke kandang sapi, teman sekolah yang menyebalkan yang berpikir bahwa ciuman sudah cukup untuk memuaskanmu.