Tolong, Beristirahatlah dengan Tenang
"Ayolah! Aku tidak percaya kita akan membahas ini lagi. Kau keberatan untuk tidak membahasnya lagi?"
Sebuah vas yang sangat bagus dan mahal dilempar ke dinding.
"Serius? Aku sedang berusaha mengejar ketertinggalanku menonton Game of Thrones dan kau malah melempar barang-barang sekarang? Itu juga favorit Ibu."
"Sebuah magnet kulkas terbalik."
"Anakku membuatnya dari stik es krim. Itu bahkan bukan prakarya yang artistik. Aku benar-benar tidak yakin mengapa kamu melakukannya. Dengar, kita pernah membicarakan ini sebelumnya. Aku membiarkanmu tinggal bersamaku dengan kelakuanmu yang aneh, suara-suara yang bergema di tengah malam, derit lantai yang 'menyeramkan', dan aku bisa tinggal di apartemen lamamu yang disewa dengan harga yang ditentukan pialang properti, yang sekarang berhantu."
Dinding mulai meneteskan darah merah yang kemudian mengalir. Jendela terbuka dan angin masuk menderu-deru.
"Dengar, aku tahu kenapa kamu kesal. Ya, aku memang sedikit mabuk dan mencari di Google cara mengusir roh jahat tapi--"
Teko kopi pecah membasahi meja dapur dengan isinya.
"--Aku bahkan bukan orang yang terlalu religius. Hanya karena merupakan kewajiban saja. Tahukah kamu? Dan memecahkan teko kopi itu kekanak-kanakan. Aku punya mesin espresso. Kamu hanya membuat kekacauan."
Mesin espresso yang disebutkan tadi mulai menyemburkan uap, mengeluarkan suara letupan mekanis, dan mulai memercik ke mana-mana.
"Baiklah, cukup! Aku - kamu - berhenti sebentar!"
Dinding berhenti memuntahkan darah. Mesin espresso berhenti memercik.
"Terima kasih. Maafkan aku karena mencari cara untuk mengusirmu, tapi aku sudah minum dan, yah, sebagai pembelaanku, kamu telah bertindak berlebihan akhir-akhir ini. Kau memang--"
Dinding mulai mengeluarkan cairan sekali lagi.
"Tahan, tahan. Sejak ibu meninggal, kamu bertingkah aneh. Kita berdua tahu itu. Tapi, itu bukan alasan untuk apa yang kulakukan."
Dinding berhenti berdarah. Hampir sepenuhnya.
"Terima kasih. Aku ingin membuat rumah untuk anak-anakku. Aku ingin hari Kamis dan akhir pekan bergantian menjadi waktu yang menyenangkan. Aku khawatir mereka akan takut dan tidak mau tinggal bersamaku. Wastafel yang dipenuhi laba-laba malam itu agak berlebihan."
Prakarya dari stik eskrim terbalik lagi. Letaknya agak miring lalu menjadi rata.
"Aku tahu; kamu mengekspresikan dirimu. Mungkin kamu bisa mencoba untuk sedikit lebih tenang? Aku tahu itu sulit karena dia sudah tiada, tetapi, mungkin kamu bisa fokus pada hal lain? Mungkin sedikit mengganggu tetangga atau mencari hobi lain?"
TV bergetar dengan gambar statis dan beralih ke Casablanca, film favorit Ibu.
"Aku tahu kamu merindukannya. Aku juga. Aku tahu kamu kesal ketika aku tidak sengaja menemukan situs tentang pengusiran setan itu. Aku tahu kalau itu terlihat buruk, tapi percayalah, aku ingin kamu di sini. Aku benar-benar mencari cara untuk terhubung dengan ibu. Untuk mendapatkan jawaban. Untukmu."
Jendela tertutup dan angin mereda seolah mendesah lega.
"Aku tidak yakin mengapa dia tidak tinggal bersama kita. Tapi aku di sini. Aku tidak akan pergi ke mana pun, Ayah. Kita akan mencari tahu bersama."
Dinding berhenti meneteskan darah, dan vas serta teko kopi tersapu menjadi tumpukan yang rapi. Game of Thrones kembali diputar. Aroma parfum ayah membanjiri ruangan, membangkitkan kenangan indah perjalanan keluarga yang sudah lama terlupakan.
Segera setelah itu, lantai mulai berderit seolah-olah seseorang berjalan menyusuri lorong menuju kamar tidur lama ibu dan ayah.
"...tapi mesin espresso, serius?"
Cikarang, 3 Agustus 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI