Tisa terdiam sejenak, lalu meraih sebuah kotak kayu kecil yang berdebu di rak dan meletakkannya di atas meja.
"Dia menitipkan ini kepadaku. Untukmu, kalau suatu saat kamu kembali. Aku pikir itu takkan pernah terjadi."
Anggun dengan hati-hati membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat sebuah botol kecil berlabel tulisan tangan - minyak lavender, gelap, pekat. Dan selembar kertas terlipat. Dia membukanya. Tulisannya singkat namun akrab:
"Untuk Anggun - karena lavender berbicara lebih keras daripada kata-kata."
Dia membaca kalimat itu beberapa kali, seolah mencoba menemukan kode tersembunyi di dalamnya, sebuah pesan yang hanya dia sendiri yang bisa pahami.
"Aku tak tahu apakah aku bisa tinggal di sini seterusnya," bisiknya.
Tisa menatapnya dengan tenang.
"Kamu tak harus tinggal di sini. Tapi kamu harus mengerti seperti apa tempat ini. Dan apa manfaatnya bagi kamu."
Di luar, hembusan angin kencang menerpa jendela. Cangkir-cangkir berdenting pelan. Dan saat itu, di antara uap teh, remah-remah kue, dan kata-kata seorang perempuan tua yang tahu lebih banyak daripada yang dia katakan, Anggun mulai curiga bahwa warisan ini bukan tentang tanah. Bukan tentang rumah.