Perlahan, kawanan kelelawar turun, mendudukkannya di kotak pasir taman bermain. Kemudian mereka menghilang seperti jerebu dibasuh hujan.
Sangria melihat sekeliling ke taman yang kosong dari balik tirai air mata. Dia berlutut di pasir, mencengkeram pasir yang meluncur dari jari-jarinya.
Dan kemudian, tiba-tiba, dia tertawa.
Dia melompat berdiri dan menari liar di atas pasir. Kemudian dia berpindah ke rerumputan, melompat dan berjingkrak sambil tertawa-tawa.
Bunga mekar dari jejak kakinya. Cahaya pelangi berkilauan melintasi taman dalam gelombang yang beriak.
Dia memunculkan makhluk-makhluk imut dari dalam tanah, bebatuan, rumput, dan ranting, dan mereka menari bersama dalam koregrafi alam yang berputar-putar riang.
Akhirnya, kehabisan napas namun sangat puas, Sangria menjatuhkan punggungnya ke rerumputan yang berembun, tertawa terbahak-bahak, menatap bulan dan bintang.
Dia meniupkan ciuman ke langit luas, senyumnya berseri-seri dari telinga kiri ke telinga kanan.
"Terima kasih, Bu."
***
Kini, Sangria kembali menyukai sihir. Dia masih bukan penyihir terbaik di dunia. Dia tidak perlu menjadi penyihir terbaik. Dia juga bukan lagi seorang anak kecil yang berada di kotak pasir, namun desir lembut jantung bocah itu masih berdetak di dadanya.