Kamu bertanya bagaimana abangmu meninggal di bulan pada hari itu, tapi itu pertanyaan yang salah.
Tanyakan saja apa yang dia katakan saat menjejakkan tapak sepatunya ketika kami pertama kali turun dari peron. Tanyakan saja judul lagu yang dia dengarkan tanpa jeda sepanjang penerbangan ke sana. Tanyakan mengapa dia menginginkan aku di sana, bukan Tamarin, istrinya.
Itu karena kami dulu menganggap halaman belakang rumah kami di malam hari adalah bulan. Bahwa kami adalah astronot. Gravitasi di sana berbeda.
Memang berbeda, kok.
Di bulan kita bisa bernapas dalam-dalam, beberapa menit setelah kakakmu meninggal, dan kamu bisa merasakan detak jantungmu sedikit terlepas dari dadamu dan naik ke tenggorokan.
Yang dia sebut dengan jejak sepatunya adalah Ibu.
Apa yang dia dengarkan---kamu pasti bisa menebaknya. Tebakan pertama hampir pasti benar. Lagu itu bocor dari earphone-nya. Aku muak karenanya. Aku menyanyikannya kembali untuknya dengan nada selembut yang aku bisa, mencoba membuatnya kesal karenanya.
Dia hanya tersenyum.
Dia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya.
Hanya karena sebutir debu. Sebutir debu yang dipercepat.
Dokumen yang kami tandatangani telah menjelaskan tentang ancaman tersebut, memberikan diagram bagaimana hal itu bisa terjadi pada siapa pun. Bagaimana ruang angkasa tidak benar-benar hampa. Betapa pentingnya atmosfer kecil pribadi kita selama tiga puluh menit berjalan kaki di area yang ditentukan.
Saat aku mengingat kembali Surya sesaat setelah kejadian itu terjadi, itu bukan karena aku merasa ada sesuatu yang salah. Itu karena aku telah berjalan sepuluh langkah yang diperlukan, untuk mendapatkan foto dirinya dengan Bumi, tidak hanya sebagai latar belakang, tetapi juga dalam genggaman tangannya. Memang perlu beberapa kali percobaan, tapi kami punya waktu tiga puluh menit untuk melakukannya dengan benar.
Kami pikir kami punya waktu tiga puluh menit.
Ketika aku berbalik kembali melihat ke Surya, dadanya persis seperti saus tomat yang baru menetes dari burger karena ceroboh ke kemeja terbaiknya. Tangannya terentang ke samping, telapak tangan ke dalam, jari-jarinya yang bersarung tangan putih terentang karena terkejut.
Dan aku tahu.
Kami memasang tambalan di telapak tangan kami untuk ini, seperti yang kami lihat video pelatihan.
Aku melompat ke arahnya. Itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan cara kamu menolong abangmu dalam gravitasi seperenam bumi, ketika baju astronotnya bocor.
"Di mana, di mana, di mana?" Aku berteriak ke helmku, ke telinganya.
Kamu tidak dapat melihat lubang jarum saat sedang panik. Aku menggosok kedua tanganku dengan gerakan memutar sampai telapak tanganku memanas, lalu aku membanting keduanya ke dadanya.
Tambalannya terbuka, mencengkeram begitu erat hingga menarik kulit terluar baaju itu ke dalam. Tepat di atas tempat kedua ibu jariku membentuk menara, aliran kecil darah yang sudah membeku keluar, menunggang atmosfer yang tertekan dan kini menghilang dari pakaian itu.
Pelatihannya adalah tentang menyegel baju itu, menyegel lubang itu. Belum ada informasi apa pun mengenai dampak setitik debu yang dapat menembus pakaian terhadap tulang dada, atau segala sesuatu di balik dinding tulang itu.
Aku tetap memegangi lubang itu dengan tanganku.
Pelindung wajah kami saling bertabrakan. Seharusnya tidak bisa pecah atau retak. Dari situlah seharusnya seluruh pakaian kita dibuat.
Aku meneriakkan namanya, aku rasa, dan kemudian aku menarik tangannya ke atas, bisa untuk membuat lebih banyak tambalan, tetapi tangannya telah dipicu oleh depresurisasi atau apa pun sebutannya.
Telapak tangannya berpasir karena debu bulan.
Apa yang dia sebut selama berminggu-minggu sebagai regolit*.
Persetan dengan regolit.
Surya kejang untuk pertama kalinya saat itu, maka aku melakukan apa yang dilakukan saudara mana pun dalam situasi seperti ini. Aku memegangi lubang di dadanya dengan telapak tanganku tanganku, dan kemudian dengan lututku, dan ketika dia sekarat, terhuyung-huyung dan tersentak-sentak seperti ayan, aku kembali ke masa kanak-kanak kami untuk mengambil bantal duduk yang biasa dia gunakan untuk membaca buku komik sepulang sekolah.
Bantal itu cukup besar sehingga seharusnya cukup untuk menutupi lubangnya, dan kemudian aku mengambil beberapa buku komiknya juga, menjejalkannya juga, dengan kedua tangan. Siapa yang peduli kalau aku membuatnya lecek?
Dan ketika seluruh tubuhnya bergetar lagi, aku kembali lebih jauh lagi ke masa lalu, ke tempat piano yang biasa dimainkan ibuku sebelum makan malam pada Jumat sore, dan aku mendorongnya ke dalam, lalu mulai menarik apa pun yang aku bisa gapai: figurin Luffy One Piece yang pernah kami perebutkan saat ulang tahunnya yang kedelapan, bola yang selalu kami tandatangani setiap musim liburan, tumbler kotor yang ayah kami simpan untuk kopi pahitnya  untuk bekerja, tempat kaset kuno yang kutinggalkan untuknya ketika aku kuliah, jaket yang dia pasang saku tambahan tempat menyembunyikan biskuit untuk dimakan saat darurat, satu-satunya kabel daya yang kami gunakan untuk mengisi daya kedua laptop kami, dan, yang terakhir, satu-satunya barang yang dapat kutemukan, kalung kusam milik kucing kami Jimbei, yang diberikan Surya kepadaku ketika aku pindah keluar kota, yang akhirnya mengakui bahwa kalung itu tidak hilang.
Ukurannya pas, rata dan segalanya.
Tangan kanan Surya melingkari pergelangan tanganku.
Ia melepaskannya, dan terus melepaskannya.
Tim tanggap darurat menarikku menjauh darinya dengan keras sehingga mereka hampir kehilanganku di ruang hampa yang menganga di belakang kami.
Seperti itulah rasanya.
Di trampolin di halaman belakang ketika kami masih kecil, perasaan inilah yang harus kami rasakan, bukan bohongan. tapi membayangkan gravitasi hilang, langkah kami terlalu berlebihan lebarnya, tangan kami terentang berayun-ayun ke samping seolah kami tidak bisa mengendalikannya.
Helmku riuh dengan perintah dan permintaan maaf serta jaminan dan pertanyaan dari tim tanggap darurat.
Aku menariknya dari mereka, berputar menuju Bumi untuk terakhir kalinya.
Di suatu tempat di bawah sana, dua anak sedang berbaring di rumput memandang ke seberang jarak yang mustahil ini. Salah satu dari mereka menjelaskan kepada yang lain bagaimana rotasi bumi bulan dan orbitnya mengelilingi bumi membutuhkan waktu yang sama, artinya sisi bulan yang sama selalu menghadap ke bumi.
Salah satu dari dua bersaudara itu sudah mengetahui kata ajaib untuk butiran debu bulan.
Dia mengucapkannya seperti sebuah rahasia, seperti janji, seperti mantra yang bisa membawanya ke sana jika dia mengatakannya dengan benar, dan, tiga delapan puluh empat ribu empat ratus kilometer di atas mereka, aku mengulurkan tangan untuk menahan planet biru kecilnya di antara  ibu jari dan jari telunjukku. Untuk menghentikan dunia mereka yang berputar begitu cepat. Membiarkan kedua anak itu tinggal di sana sebentar lagi.
Kamu bertanya bagaimana abangku meninggal di bulan.
Dia tidak meninggal di sana.
Dia lagi-lagi tertidur di trampolin. Dia hanya butuh aku menarik lengan bajunya sampai dia terbangun, agar kami bisa kembali ke rumah.
Cikarang, 17 Juni 2024
Â
Catatan:
*Regolit berasal dari bahasa Yunani, yaitu regos yang berarti penutup atau tudung, dan lithos yang berarti batuan. Secara luas, kamus geologi milik Institut Geologi Amerika mendefinisikan regolit sebagai terminologi umum untuk lapisan dari material fragmen batuan dan material lepas. Regolit bulan terdiri dari serpihan batuan, pecahan mineral, tumbukan dan gelas vulkanik, serta komponen khusus yang hanya ditemukan di Bulan yang disebut "aglutinat". Perbandingan berbagai komponen kandungan ini sangat bervariasi dari satu tanah ke tanah lainnya.
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI