Hanya tersisa dua minggu sebelum dimulainya liburan sekolah. Para pelajar di kota pedesaan Kaayuangin sedang belajar untuk menghadapi ujian akhir tahun. Beberapa anak, seperti Gita dan Ratri, menganggap ini sebagai masa yang menyenangkan, tetapi bagi yang lain seperti Sakti, Faris, dan Pandu, masa ini sangat mengerikan. Bukan karena mereka kurang cerdas, tetapi lebih karena mereka lebih menginginkan petualangan daripada duduk belajar di depan buku.
Sakti memperhatikan jam berdetak. Setiap detik terasa lebih lama dari detik sebelumnya. Setiap kali lonceng berbunyi, perutnya terasa semakin mules, seperti ada segumpal saraf yang kusut. Dia Ia menghindari buku pelajarannya seolah-olah buku pelajaran itu berduri, dan lebih memilih bermain video game dan membaca komik.
Mendadak, terdengar suara langkah kaki ayahnya bergema di lorong. Keringat dingin membasahi dahinya. Dia tahu apa yang akan terjadi. Langkah kaki itu adalah hitungan mundur untuk teguran yang dia hindari sepanjang minggu.
Kemudian, memecah keheningan yang menegangkan, suara ayahnya menggelegar dari ruang tamu.
"Sakti, bisakah kau ke sini sebentar?"
Tidak ada keraguan dalam nada suara ayahnya yang tegas. Tidak ada ruang untuk negosiasi.
Dengan desahan pasrah, Sakti bangkit dari tempat tidurnya. Dunia fantasi para pahlawan dan petualangan menghilang ketika dia berjalan dengan susah payah menuju hal yang tak terelakkan. Setiap langkah terasa lebih berat dari yang terakhir. Jantungnya berdebar kencang di dadanya ketika dia memasuki ruang tamu.
Ayahnya mendongak dari koran yang sedang dibacanya.
"Sakti, ibumu bilang kau tidak berusaha belajar untuk ujianmu," katanya, berhenti sejenak untuk memberi kesan sementara Sakti menundukkan kepalanya.
Ayah Sakti berdiri dan berjalan menghampirinya. "Ayah sudah memikirkan apa yang kau butuhkan, Nak. Yaitu motivasi," kata ayahnya, duduk di sofa dan memberi isyarat agar Sakti duduk di sampingnya.