Kakakku Kolya menyerbu ke dapur seperti burung unta yang mengamuk. Lehernya dipenuhi bulu yang acak-acakan dan matanya bulat sebesar bola pingpong. Tangannya mengepal, wajahnya merah padam. Tas ransel tersampir di bahunya.
Dia bertelanjang kaki. Aku menahan diri dalam diam dan mengurus urusanku sendiri di kompor tempat aku membuatkan sarapan untuknya. Dia sudah bersumpah dia akan pergi kali ini.
"Jadi begitu?" suaranya menuntut sambil menembakkan tatapan sinar laser ke tengkorak bapak kami. Dia belum mengucapkan sepatah kata pun kepada kami sejak tadi malam.
Bapak menyendokkan bubur sereal ke dalam mulutnya. susu menetes ke janggutnya.
Bapak memiliki bahu lebar, dqada bidang, dan tangan yang terbuat dari balok kayu ulin. Biasanya Bapak tidak pernah peduli soal etiket, tapi sekarang dia meluangkan waktu untuk menyeka mulutnya setelah setiap gigitan, mengunyah dengan seksama, meletakkan sendoknya dengan rapi di atas meja, menyesap teh tawar dengan jari kelingkingnya di luar gelas.
Tubuh Kolya bagai mengepulkan asap.
Bapak bertanya, "Jadi begitu apanya?"
"Di mana?"
Wajahnya semerah mawar lincoln. Kalaulah dia tiba-tiba berubah menjadi hewan, aku yakin dia akan menjadi seekor banteng dalam film kartun, dengan mata merah dan hidung menguarkan uap panas.
"Apakah kamu sudah memeriksa kardus barang-barang hilang di gudang belakang?" tanya Bapak.