"Kau membunuhku, kawan. Tapi cobalah untuk menemukan salinannya kalau masih beredar. Intinya, tidak ada novel yang perlu ditulis lagi. Sastra sudah mencapai akhir. Aku akan mati dan dilupakan, terkubur di bawah tanah kuburan dengan nisan lapuk yang segera hilang tumbang."
"Seperti kita semua, bro. Jadi, apa ruginya? Sebaiknya lakukan apa yang membuatmu bahagia."
"Sebenarnya, aku suka menulis. Memikirkannya saj sudah membuatku bersemangat di pagi hari, membuat kopi terasa lebih enak, bahkan membuat Citraloka tampak jauh lebih muda."
"Itu dia, Mahiwal. Tulislah karena itu membuatmu terus berpikir. Siapa yang peduli jika kata-katamu akan dilupakan pada hari yang sama ketika kamu meninggal?"
"Aku tahu ada alasan takdir membawaku ke sini, Bara. Kamu adalah teman yang setia. Ya, aku akan menulis, dan aku akan tertawa terbahak-bahak mengetahui bahwa kata-kataku hanyalah nyala kerdil di kerlip lilin."
Mahiwal mengeluarkan beberapa lembar uang kertas lusuh dari dompetnya dan menaruhnya di meja kasir. Dengan semangat baru dalam langkahnya, dia berjalan menuju udara hangat kota Bandung yang kering kerontang di Bulan Mei. Bau daging ayam bakar bumbu rujak dan asap knalpot membuatnya bergairah.
"Aku akan menulis tentang seorang laki-laki, laki-laki yang melambangkan perjuangan semua laki-laki. Aku harus memikirkan sebuah nama yang epik. Sutan Malaka. Tidak, aku ingin nama yang bersuara yang keras seperti raungan amarah di awal namanya, seperti Malique. Eureka!"
Dengan tangan untuk menulis huruf-huruf di buku notes kecil terangkat ke arah puncak menara masjid terdekat, Mahiwal berteriak, "Malin Kundang!"
Cikarang, 20 Mei 2024
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI