"Aku putuskan untuk berhenti menulis," kata pria itu sambil menyodorkan gelas kosongnya ke arah bartender.
"Tentu, berhentilah menulis. Mungkin melakukan sesuatu yang memungkinkan kamu melunasi utangmu yang sudah menunggak sampai tiga bulan," gadis di belakang meja kasir menyindir nyinyir.
"Lucu sekali, Esme. Tapi aku serius. Maksudku, aku sudah berumur lebih dari 55, seorang pegawai negeri yang terlilit tagihan kredit segunung. Tak lama lagi pensiun. Â dan anakku satu-satunya tak mau bicara sepatah kata pun dengan bapaknya. Warisan macam apa itu?"
"Bang, Abang sedang galau, itu masalah Abang. Abang sudah keliling dunia dengan biaya dinas. Menginap di hotel bintang di daerah tujuan wisata dengan panorama eksotis. Abang bisa menulis curriculum vitae seorang petualang, sementara aku terjebak di sini mengantongi tip recehan," kata Chintami, pelayan yang sedang pusing memikirkan bagaimana membayar indekos dan uang kuliah.
Bartender menepuk-nepuk cangkir isi ulang pelanggan di atas meja, menuangkan cairan berbusa ke dalamnya.
"Menurutku ini yang terakhir, kawan. Aku tidak mau istrimu datang ke sini dan mengancamku dengan pisau dapur lagi."
"Oh, Citraloka yang manis. Aku tidak pantas menjadi suaminya. Aku berharap aku seperti para penulis terkenal yang dibicarakan semua orang akhir-akhir ini. Penulis cerita serial berjilid-jilid yang mematikan jiwa namun membuat istrinya tetap gemuk dan berpenampilan sesuai mode terkini. Aku tidak bisa melakukannya. Semua kemungkinan cerita alternatif telah ditulis. Mereka bilang ini adalah masa keemasan penulis kisah fantasi. Segala sesuatu yang layak dan punya nilai sastra telah ditemukan, ditulis, atau diciptakan. Ini adalah akhir zaman, Bara."
"Bagaimana dengan buku yang sudah kamu tulis itu?"
"Apa judulnya? Tolong beri tahu."
"Yah, kalau tidak salam mirip biografi, pascabencana, petualangan remaja, dan olahraga tinju. Kalau tidak salah dimulai dengan huruf K, tapi aku ingat itu bukan tentang cinta, apalagi tentang cinta segitiga."