Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tahapan untuk Menjadi Sahabat

13 September 2025   14:14 Diperbarui: 13 September 2025   11:15 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebagai orang tua dengan anak-anak yang sudah dewasa, Andrian menyadari bahwa dia sangat merindukan almarhum orang tuanya. Dia bisa melihat ayahnya dalam bayangannya: hidung, mata, dan bibir. Mungkin sebagai tanggapan terhadap gelombang rindu. Dia kadang-kadang bermimpi di malam hari tinggal di rumah masa kecilnya, tetapi dengan sudut pandang orang dewasa yang mengetahui masa depan. Setelah dua bulan berlatih teknik lucid dream, sesuatu terjadi.

Dalam mimpinya, orang tuanya berambut abu-abu. Tekanan pekerjaan dan segala macam tagihan membuat hal-hal tersebut tampak jauh lebih rentan dibandingkan yang dia duga saat itu. Pertengkaran yang rutin terjadi di meja makan karena soto babat yang terlalu matang. "Rasanya seperti kulit sepatu," gerutu ayahnya. "Kamu merusaknya."

Andrian ingin memberi tahu kedua orang tuanya bahwa hidup ini terlalu singkat untuk keluhan-keluhan kecil, tetapi kakak perempuannya, yang mungkin melihat tatapan penuh tekad di matanya, menendang tulang keringnya di bawah meja. Seperti biasa, kedua remaja itu minta diri untuk bersembunyi di balik pintu kamar tidur yang tertutup sampai pertengkaran mereda.

Begitu nyata, tapi bukan kenangan lama dengan akhir yang tidak bisa diubah. Dalam pengulangan ini, Andrian dapat berbicara dengan cara yang belum pernah dia lakukan. Dia bisa mendengar mobil ayahnya pergi dan tangisan ibunya yang teredam.

Di langit-langit kamar Andrian, bintang-bintang plastik yang bersinar dalam gelap berkilauan saat senja mengubah ruangan menjadi temaram. Benda-benda itu indah, nyaris ajaib, tetapi benda-benda itu belum pernah ada di masa mudanya. Putrinya yang menaruhnya di kamar tidurnya, satu generasi kemudian.

Hal-hal di sini sebagian besar sama, ketika dia mengingat peristiwa-peristiwa, tetapi dengan perbedaan-perbedaan yang mencolok.

Pintu depan berderit terbuka dan tertutup. Kali ini, berbeda dengan sebelumnya, dia bersama ibunya di teras depan. Andrian mengikuti. Kakak perempuannya, Andini, membuka pintu kamar tidurnya, lalu menggelengkan kepalanya dengan acuh tak acuh, dan segera menutupnya kembali. Dan menguncinya.

Ibunya menoleh saat mendengar suara Andrian mendekat. Dia duduk membungkuk, berlutut di dagunya, serupa bola kecil di samping kotak susu. Di kelas lima, dia sudah lebih tinggi dari ibunya. Mungkin itu sebabnya dia merasa mampu melindungi ibunya. Perempuan yang telah melahirkannya. Ibunya mengusap ingus dari ujung hidungnya dan mengusap roknya. "Kamu seharusnya berada di kamarmu, mengerjakan pekerjaan rumah."

"Ini hari Jumat," dia berbohong. Dia sebenarnya tidak tahu.

"Benar?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun