Aku melihat poster itu saat jalan pagi, ditempel di tiang listrik di ujung jalan. Bunyinya, "Kucing Hilang. Namanya Lady Gaga. Tolong hubungi. Berhadiah."
Poster itu mencantumkan nomor ponsel di bawah gambar kucing oranye dengan jambul bulu putih, dan matanya bersinar hijau dan nakal.
Poster kecil itu ditulis dengan tulisan anak-anak yang tampaknya sedang galau.
Aku tinggal tiga puluh kilometer dari kota, di komunitas pedesaan yang terletak tak jauh dari jalan bebas tol. Kluster serupa oasis dari beton dan semen serta halaman rumput yang terawat baik di tengah bukit-bukit dan semak liar yang tebal. Sebelum serangan jantung pertamaku, aku tidak pernah terlalu memperhatikan lingkungan tempat tinggalku. Rumah bagiku hanyalah tempat aku tinggal saat tidak sedang bekerja. Namun dokter mendesak agar aku lebih banyak berolahraga.
Sekarang, aku tahu setiap petak trotoar, jumlah tikungan jalan berkelok-kelok, dan lorong-lorong buntu. Aku berjalan-jalan setiap hari saat cahaya matahari pertama mengintip dari balik gunung, sebelum udara menjadi terlalu panas.
Aku melihat Lady Gaga pada hari dia menghilang.
Saat itu fajar hampir lewat, tetapi bulan masih terlihat di cakrawala.
Dia duduk-duduk di teras depan rumahku sambil menjilati kakinya. Ketika dia melihatku, dia dengan santai berjalan pergi. Aku tidak terlalu memikirkannya saat itu.
Kucing itu milik tetanggaku di pojok jalan, pasangan muda yang menyenangkan dan mempunyai anak seorang gadis kecil, mungkin berusia delapan atau sembilan tahun. Gadis itu sering bermain dengan Lady Gaga di halaman rumah mereka. Dia memiliki kuncir ikal dan wajah kekanakan yang polos, tipe anak-anak yang umum sebelum kehidupan mengeraskan penampilan mereka.
Ketika aku membaca posternya, aku merasakan dorongan aneh untuk menemukan Lady Gaga. Mungkin demi untuk gadis itu. Mungkin juga demi diriku.