Dia menatapku dengan tajam. "Ayolah, jangan bohong."
"Tidak, sungguh," kataku.
"Terserah," katanya, "semaumu."
Dia melirik arlojinya, mengambil tisu dari lengan baju dan menyeka matanya. "Maafkan aku, aku harus pergi," katanya.Â
Dia berhenti sejenak. Lalu dia memberiku kecupan di pelipis kananku. "Kurasa ini menyenangkan. Sampai jumpa lagi."
"Tentu," kataku, tapi dia sudah pergi.
***
Kali berikutnya aku melihatnya adalah saat melayat mendiang Syauki. Si bodoh itu memotong pergelangan tangannya dan dia bahkan tidak meninggalkan pesan apa pun.
Awalnya aku merasa dikhianati ketika mendengar berita tersebut. Rasanya seperti perutku ditinju dengan gada. Kami sudah berjanji siapa pun yang berangkat lebih dulu akan meninggalkan pesan. Dia telah mengingkari janjinya. Tapi kemudian aku berpikir, itu kekanak-kanakan. Mungkinkah janji yang mustahil seperti itu akan berakhir dengan air mata?Â
Kami berdiri mengelilingi peti mati, mengucapkan beberapa kata, mencoba menghibur ibunya. Aku bertanya-tanya bagaimana rasanya dia tidak bisa menangis di pemakaman putranya sendiri. Dia menolak untuk duduk, tetap berdiri sepanjang waktu, tegak, punggungnya tegak, tetapi wajahnya kosong, seolah-olah dia diasingkan. Dia berada di suatu tempat yang jauh.
Tidak ada yang membicarakan alasan dia melakukan itu. Entah ibunya tahu, alasan Syauki, alasanku, apakah dia sudah tahu selama ini. Aku mengawasi kalau-kalau pamanku muncul, tapi aku ragu dia akan berani. Atau kuharap dia tidak datang.