Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Tanpa Bahasa, Semuanya Tak Berarti

18 Agustus 2025   20:20 Diperbarui: 18 Agustus 2025   17:14 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Saya tergila-gila pada bahasa. Bahkan mulai menjadi obsesi. Tapi izinkan saya mulai dari awal...

***

Sekitar 40.000 tahun yang lalu, spesies hewan baru mengembara di planet Bumi. Spesies ini tidak terlalu cepat atau kuat, tetapi tetap berhasil menjadi spesies dominan di dunia sekitar 400 abad kemudian.

Manusia bertahan hidup berkat kecerdasan mereka dan, yang terpenting, berkat kemampuan mereka untuk mengirimkan informasi, yang membuat seluruh spesies lebih tangguh untuk bertahan hidup. Bahasa lahir, dan bersamanya, umat manusia.

Kita mengenal bahasa dalam berbagai bentuk. Misalnya, ada bahasa tubuh, huruf Braille, dan, tak lupa, bahasa yang paling banyak digunakan secara internasional: bahasa isyarat.

Dengan tangan dan kaki, setiap pelancong berhasil menemukan setidaknya sepiring makanan dan tempat tidur di negeri asing. Dan untuk membuatnya lebih sederhana lagi: kata taksi, hotel, dan restoran sama dalam hampir setiap bahasa.

Bahasa yang pertama kali kita pikirkan tentu saja bahasa kita sendiri, bahasa yang kita pelajari dalam pelajaran bahasa sejak kelas satu sekolah dasar. Bahasa ini, bahasa Indonesia, sangat penting bagi kehidupan kita selanjutnya, sehingga kita tidak hanya belajar berbicara, tetapi juga menulisnya dengan benar. Dan di situlah masalahnya dimulai.

Bahasa hanya dianggap serius ketika penggunaannya sempurna. Padahal, bahasa adalah ilmu pengalaman. Seperti cinta, bahasa tidak memiliki logika. Sebaliknya, bahasa Indonesia sarat dengan aturan-aturan aneh dan banyak pengecualian. Misalnya, ada aturan "baku" daan "tidak baku" yang oleh W. J. S. Poerwadarminta Sang Bapak Kamus Bahasa Indonesia tidak dipermasalahkan, karena di Indonesia ada ratusan bahasa daerah dengan dialek masing-masing yang selayaknya dianggap baku.

Dan ada aturan yang berubah, seperti bahwa jalan tol, adalah jalan berbayar, tapi tol laut bukanlah laut berbayar. Atau pinjol tidak sopan, maka diganti pindar. Padahal ujung-ujung kalau gagal bayar tetap dikejar-kejar debt collector. Asing, kan?

Setiap bahasa terdiri dari ribuan kata yang berbeda. Setiap kata memiliki arti, dan banyak kata bahkan memiliki lebih dari satu arti. Terkadang saya bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk memikirkan beberapa kata.

Seperti kata "obsesi," yang membuat saya cukup sibuk akhir-akhir ini. Obsesi terletak di antara kebiasaan dan kecanduan. Itu seperti lampu merah lalulintas. "Sudah sejauh ini dan tidak lebih," sebuah peringatan terhadap efek samping yang tidak diinginkan jika batas tipis menuju kecanduan terlewati.

Bahasa itu seperti wanita cantik: Anda ingin membaca dan menulis kepadanya, Anda ingin mengenalnya, tetapi meskipun Anda berdedikasi penuh dan berkomitmen penuh, dia tetap menjaga jarak dan hanya memberi Anda senyum misterius, yang menunjukkan bahwa dia tidak pernah ingin sepenuhnya didominasi.

Saya pernah menghabiskan waktu disibukkan dengan penggunaan koma. Itu terjadi saat musim koma Oxford. Saya rasa saya tidak benar-benar belajar apa pun darinya. Mungkin saya belajar bahwa lebih baik menghindari koma sebisa mungkin. Maaf, saya baru saja lupa. Metafora wanita cantik pasti penyebabnya).

Lalu titik. Itu bisa menghibur saya. Setiap titik adalah keseluruhan yang utuh yang, secara alami, menandai akhir. Itu sesuatu yang bisa Anda lakukan.

Setiap pertemuan dimulai dengan mencatat beberapa poin di atas kertas. Poin-poin ini kemudian diperdebatkan selama berjam-jam. Saya suka itu. Di sisi lain, tanda koma selalu harus ditafsirkan dengan tujuan tertentu.

Bahasa tidak memiliki moral. Anda dapat menggunakan bahasa untuk mengatakan yang sebenarnya, tetapi dengan kata-kata yang sama Anda juga dapat berbohong dan menipu. Bahasa terutama digunakan untuk berbagi emosi dan informasi.

Seorang teman saya pernah mendaki Gunung Jayawijaya. Setelah kembali dengan selamat, dia mencoba menjelaskan kepada kami, menggunakan bahasa, betapa dinginnya di sana. Kebetulan, beku adalah satu-satunya bentuk kiasan dari kata "dingin". Dingin kutub, dingin gletser, atau dingin Himalaya adalah ungkapan kiasan yang tidak ada. Bahasa kita hanya menyediakan istilah "dingin es", seolah-olah tidak ada yang lebih dingin dari es.

Antonim atau lawannya, "hangat", memiliki daftar sinonim yang panjang, seperti suam-suam, panas, menyengat, mendidih, membakar, atau panas yang membakar.

Dingin beku adalah satu-satunya bentuk yang dapat menunjukkan derajat dingin. Sebagai ilustrasi, penjelasan teman itu tentang betapa dinginnya di Gunung Jayawijaya tidaklah mudah. Untungnya, dia menguasai bahasa bahkan lebih baik daripada masker oksigen, sehingga dia bisa menyampaikan kesulitannya kepada kami dengan cara yang masih membuat saya merinding membayangkannya. Penggunaan bahasanya memungkinkan kami berbagi pengalamannya tanpa harus menginjakkan kaki di Gunung Jayawijaya. Itulah kekuatan bahasa: menyampaikan emosi dan informasi.

Para penulis telah menjadikan bahasa sebagai profesi. Mereka mempelajari bahasa dan menggunakannya untuk menyampaikan gagasan, memperjelas perasaan, dan berbagi informasi dengan pembaca. Beberapa penulis melakukannya dengan kata-kata yang akan membuat orang yang mendengarnya merasa jengkel, sementara yang lain menggunakan humor untuk membumbui bahasa mereka. Namun, seni menulis, baik fiksi maupun nonfiksi, adalah profesi yang sekarat. Orang-orang tidak lagi membaca.

Orang-orang memiliki ponsel pintar yang membuat penerimaan informasi jauh lebih pasif, dan karenanya lebih menarik. Kata-kata lisan, yang dirumuskan tanpa berpikir dan lenyap bagai angin, telah menggantikan kata-kata tertulis, yang selalu dipertimbangkan dengan lebih cermat. Penulis diabaikan karena pembicara menuntut semua perhatian mereka. Menulis itu perunggu, tetapi berbicara itu emas di zaman modern ini.

Ngomong-ngomong, pembaca jauh lebih tinggi dalam tangga sosial daripada penonton video konten kreator. Seseorang yang dengan agak malu-malu mengakui telah membaca semua karya Shakespeare disambut dengan hormat, sementara kita segera memanggil ambulans jika seseorang mengaku telah menonton setiap episode Cinta Fitri. Mungkin ini terkait dengan gerakan sosial yang mendorong orang untuk selalu berpura-pura lebih bodoh daripada yang sebenarnya, dengan segala manfaatnya, yang mendorong orang untuk membaca lebih sedikit dan menghabiskan lebih banyak waktu menatap layar. Fenomena ini, tentu saja, bukan disebabkan oleh kualitas artikel yang kini sedang Anda baca.

Bahasa telah menjadi obsesi bagi saya. Saya mencoba menuangkan pikiran saya ke dalam kata-kata dan mengumpulkannya dengan menuliskannya secara berurutan di layar laptop jadul menggunakan tetikus nirkabel yang mulai memberontak, kurangnya padu serasi antara gerak tangan dengan panah kursor.

Jarang sekali hasilnya sesuai harapan. Bahkan pada kesempatan langka ketika saya berhasil membentuk kalimat dari semua kata itu, kalimat itu dengan cepat menjadi omong kosong lagi ketika saya membacanya kembali nanti. Menulis sesuatu yang tak bermakna memang sia-sia, tetapi menuangkan kalimat yang bermakna di atas kertas terbukti menjadi tugas yang sama sekali mus-ta-hil.

Bahasa adalah hal yang luar biasa. Hanya melalui penggunaan bahasa, manusia dapat melampaui tingkatan hewan. Hanya melalui penggunaan bahasa, bahasa tulis, kita dapat membayangkan tempat-tempat yang tak akan pernah kita kunjungi, emosi-emosi yang tak ingin kita alami, orang-orang yang sangat ingin kita kenal. Namun, bahasa sama fananya dengan kata-kata yang terucap, seperti media yang mengirimkan berita yang sama banyaknya ke rumah kita setiap hari.

Bahasa adalah salah satu fenomena terpenting dalam eksistensi manusia. Dan tanpa bahasa, segalanya tak berarti.

Jawa Barat, 18 Agustus 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun