Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Opsi Epilog

9 Mei 2025   17:45 Diperbarui: 9 Mei 2025   17:45 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

(1).

Dia mendapat pekerjaan sebagai ahli terapi air di spa.

Pasien-pasiennya kaku dan tidak bisa tampil anggun di kolam renang. Mereka merasa sakit saat bergerak di dalam air, tetapi mereka membutuhkannya untuk meredakan rasa sakit yang lebih parah. Rasa sakit yang membuatmu merasa di rumah, dalam unsurmu sendiri, sampai rasa sakit itu mengusirmu.

Dia tidak banyak bicara, tetapi pasien-pasiennya menyukainya.

(2).

Suatu malam, dia menyelinap keluar istana ketika sang pangeran sedang tidur, memimpikan wanita lain.

Perjalanan ke kota sangat jauh dan kakinya terasa sakit. Namun, malam itu hangat dan dia dapat membaca bintang untuk menemukan jalannya.

Lagipula, ini bukan perjalanan pertamanya ke tempat yang entah.

(3).

Saat makan siang, dia duduk di bangku trotoar.

Gadis-gadis berjalan lewat, mengibaskan rambut panjang mereka dan bergandengan tangan. Dia merasakan kesedihan. Sedikit.

Namun, air mata cepat kering karena kemarau. Musim kemarau mengangkatnya seperti air pasang.

Lonceng lintasan rel kereta berdentang dan bunga-bunga liar bermekaran. Dia ingat saat masih muda, merindukan semua ini dari kejauhan.

Dia diberi tahu bahwa dia membutuhkan cinta untuk menumbuhkan jiwa. Itu masuk akal saat itu.

 Namun tidak di sini, tidak di tempat di mana segala sesuatu tumbuh hanya dengan hidup di bawah matahari.

(4).

"Pasien Anda berikutnya sudah datang", kata resepsionis.

"Oh, dan ini sudah datang."

Undangan pernikahan. Nama-nama timbul berwarna perak berkilauan di atas kertas gading, seperti bilah pisau yang menangkap cahaya.

Dia melempar kartu itu ke mejanya.

Dia hampir tidak menyadari angin yang mengangkat undangan itu dan membawanya pergi, jauh dari kota, ke laut, tempatnya jatuh ke ombak dan larut menjadi buih.

Jawa Barat. 9 Mei 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun