Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 123: Mendadak Mendung

10 Desember 2023   09:00 Diperbarui: 13 Januari 2024   10:05 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Aku menatapmu, mengamati wajahmu dengan cermat dengan cara yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Dan meskipun aku sadar sepenuhnya bahwa matahari bersinar di atas kepalamu hanya menyisakan sedikit bayangan teduh, sama sekali tidak membuatmu merasa tidak nyaman.

Aku bukan ingin menyalahkanmu, hanya ingin memahami lebih jauh. Sejauh yang kamu tahu tentangku bahwa aku tidak berubah sedikit pun sejak terakhir kali kita bertemu. Tapi dulu kamu pasti ingat bahwa rambutku hitam tidak bisa dihitung...

"Apakah dia membuatmu kesal?" aku bertanya.

Kamu kaget, dan dari gerak bibirmu aku yakin kamu nyaris berkata jujur, tapi sadar pada waktunya,

"Membuatku kesal? Nggak, nggak sama sekali."

Namun aku terus menatapmu. Ada sesuatu di matamu. Mungkin merasa malu atas kebohonganmu.

"Yah, tidak lebih dari biasanya, kamu tahu.'

Dan kamu mencoba tertawa, untuk membenarkan kelakuanmu yang setengah mengelak, untuk mengabaikan kenangan akan percakapan kita saat sarapan di kafe dulu yang berakhir kacau.

"Nggak," jawabmu, sekali ini lugas dan jujur tanpa kompromi seperti kamu yang kuingat.

"Aku nggak tahu. Aku ingat dia orang yang agak cemburuan, cukup pintar untuk menggunakan kata-kata yang menyakitkan, tapi aku tidak tahu bahwa dia akan bersamamu."

Ada jeda lagi, sementara aku terus menatapmu, yang kamu balas dengan lembut, tapi sama sekali tanpa tipu muslihat, tanpa... aku sadar, sedikit terkejut. Tanpa filter sosial apa pun, tabir kesopanan apa pun.

Bukan berarti kamu kasar, hanya... yah, 'tidak beradab' malah terdengar lebih kasar. Dan sungguh, ketika kata 'beradab' terlalu sering digunakan, berarti ada kemunafikan bermuka dua. Jadi 'tidak beradab' bukanlah hal yang buruk, setelah aku terbiasa dengan gagasan itu.

Dan ketika berpikir bahwa itu adalah sebuah ide, sebuah pendekatan yang ingin aku biasakan, kamu berkata, "Kamu mau kopi? Apakah kamu punya waktu?' dan tersenyum padaku

"Aku punya waktu seharian," jawabku, mengikuti langkahmu ke ruang entah.

Bandung, 10 Desember 2023

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun