Aku menatapmu, mengamati wajahmu dengan cermat dengan cara yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Dan meskipun aku sadar sepenuhnya bahwa matahari bersinar di atas kepalamu hanya menyisakan sedikit bayangan teduh, sama sekali tidak membuatmu merasa tidak nyaman.
Aku bukan ingin menyalahkanmu, hanya ingin memahami lebih jauh. Sejauh yang kamu tahu tentangku bahwa aku tidak berubah sedikit pun sejak terakhir kali kita bertemu. Tapi dulu kamu pasti ingat bahwa rambutku hitam tidak bisa dihitung...
"Apakah dia membuatmu kesal?" aku bertanya.
Kamu kaget, dan dari gerak bibirmu aku yakin kamu nyaris berkata jujur, tapi sadar pada waktunya,
"Membuatku kesal? Nggak, nggak sama sekali."
Namun aku terus menatapmu. Ada sesuatu di matamu. Mungkin merasa malu atas kebohonganmu.
"Yah, tidak lebih dari biasanya, kamu tahu.'
Dan kamu mencoba tertawa, untuk membenarkan kelakuanmu yang setengah mengelak, untuk mengabaikan kenangan akan percakapan kita saat sarapan di kafe dulu yang berakhir kacau.
"Nggak," jawabmu, sekali ini lugas dan jujur tanpa kompromi seperti kamu yang kuingat.
"Aku nggak tahu. Aku ingat dia orang yang agak cemburuan, cukup pintar untuk menggunakan kata-kata yang menyakitkan, tapi aku tidak tahu bahwa dia akan bersamamu."