"Kotoran bebek hijau dan berlendir," kata Syauki saat sepatu bot karetnya meremukkan jarum cemara kering, tanah lempung, dan kerikil kecil.
"Aku tidak melihat apa-apa. Biasanya ada begitu banyak bebek."
Aku melihat ke seberang hamparan tanah. Kami berjalan di batas tali air. Danau nyaris kering. Ketinggian air sangat rendah sehingga hanya tersisa tiga meter panjang danau. Perahu berlabuh bergoyang-goyang di lumpur.
"Kita harus kembali." Aku ingin burger dan soda.
Ketika aku kecil, Danau Seriti sangat luas, sejuk, dan biru. Aku bisa berenang di dalamnya di musim kemarau dan menatap permukaannya yang agak keruh di musim hujan dengan secangkir teh tubruk panas. "Ayo pergi," kataku.
Saya menunggu Syauki di jalan setapak di sebelah pohon cemara dan bangku taman. Seorang pria dengan rambut beruban, rahang tebal dan lebar sehat di pipinya berjalan dengan anjing pemburu hitamnya. Dia melihat ke danau---tepatnya genangan air--- dan duduk di bangku. Syauki masih berkeliaran di sepanjang dasar danau mencari kotoran bebek.
"Aku tidak menyangka airnya susut jauh," kataku sedih. "Dulu ini danau yang indah."
"Sudah menyusut selama satu dekade," kata pria itu. "Kekeringan melanda seluruh provinsi tapi meski begitu... ini aneh. Sungguh. Tidak pernah serendah ini."
"Ini merugikan pariwisata..."
"Memang. Katakan apa yang dia lakukan di situ?"