Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wajah Kakek

24 Februari 2023   06:56 Diperbarui: 24 Februari 2023   08:11 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://as2.ftcdn.net/v2/jpg/04/71/37/65/1000_F_471376597_FCCh0nivJZW7TI6Bg2oiQfkYj2u4UOd3.jpg

Di sana Kakek berbaring. Dia bisa saja tertidur. Kakek benar-benar terlihat seperti sedang terlelap. Meski sedikit membengkak. Dadanya tampak kokoh untuk pria tua yang sudah meninggal.

Kakek hampir tersenyum. Kakek selalu berhasil melihat humor dalam situasi apa pun. Itu adalah sesuatu yang diwarisi Kenny. Wajah inilah, sekarang tak bernyawa, yang membesarkan cucunya.

Ketika Kenny berusia enam tahun, wajah berkacamata Kakek menjulang tinggi di wajahnya. Dia baru saja menemukan Kenny di lantai kamar tidur dengan kotak P3K terbalik di sampingnya. Bibirnya seputih kapur.

"Aaaaa," kata Kakek. "Buka mulutmu. Aaaa."

Kenny membuka mulutnya untuk menampakkan bubur putih di lidahnya. Dia membuka kepalan tangannya untuk memperlihatkan bungkus obat diare. Mata Kenny mulai berair.

Kakek telah menangkap basah perbuatannya.

Kakek tertawa terbahak-bahak dan mengulurkan tangannya agar dia bisa berdiri. Nenek Kenny kemudian mengobatinya dengan pembersih dubur untuk meredakan sembelit Kenny.

Saat ini, Kenny memperhatikan kotak yang terletak dekat peti mati. Sepupunya memberitahunya bahwa di dalam kotak itu ada uang kimcoa yang akan digunakan Kakek di dunia roh. Kenny memutar matanya. "Serius?"

Dia mengalihkan pandangannya ke sudut. Nenek duduk dikelilingi oleh para penghibur. Matanya kembali ke Kakek.

***

 Saat umurnya sembilan tahun, Kenny berlutut dan menghadap Kakek untuk melihatnya makan pepaya. Dia menempatkan sikunya di atas meja untuk menopang dagunya. Ini adalah taktik yang dia dan sepupunya buat - dengan diam-diam meminta Kakek untuk menyerahkan makanannya agar mereka bisa melahap sisanya.

Hari itu adalah pepaya parut dan susu murni, sehari sebelumnya itu adalah bubur sumsum.

"Ini, habiskan,"Kakek menyodorkan mangkuk ke arah cucunya. Dia terkekeh untuk meyakinkannya bahwa dia tidak kesal. Kenny meraih mangkuk dan berlari ke belakang sofa terpanjang. Dia bersembunyi dari sepupunya kalau mereka ternyata mencarinya.

***

Para pelayat mengelilingi tubuh Kakek. Kenny hanya menyisakan sedikit ruang antara dirinya dan peti mati sehingga pawai pelayat harus mengelilinginya juga.

Barisan pelayat tampak seperti tarian. Jenis tariannya yang melibatkan bahu yang gemetar, kaki yang terseret, dan sesekali mengolesi mata dan bibir dengan sapu tangan atau punggung tangan.

Beberapa penari duka lebih bersemangat daripada yang lain. Mereka dengan lantang menyatakan keinginan mereka untuk pergi bersama Kakek. Mamah Kenny adalah salah satunya.

Semua jadi ikut gila, pikir Kenny, sambil berjuang meredam emosi yang mulai mengisi relung dalam hatinya. Dia kembali memandang wajah mendiang kakeknya.

Masa kecilnya mengalir seperti banjir di benaknya. Kenny mengerutkan wajahnya seolah ingin bersin, atau menangis. Mungkin yang terakhir.

Suara yang keluar bukanlah isak tangis.

Tidak diragukan lagi, yang terdengar adalah ledakan tawa terbahak-bahak.

Bandung, 24 Februari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun